BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Di
akhir abad ke dua puluh Masehi, umat Islam dikejutkan dengan fenomena baru
dalam pemikiran Islam. Golongan yang memperkenalkan diri sebagai Islam Liberal
ini telah menggemparkan dunia Islam dengan isu-isu yang kontroversial dan
ide-ide yang berani. Gerakan Islam Liberal cukup popular di Indonesia. Namun
begitu, tidak ramai yang menyedari sebenarnya gerakan ini mempunyai jaringan
yang luas, bukan saja di dunia Islam bahkan juga hampir di serata dunia
termasuk Mesir, India, Pakistan, Bangladesh, Amerika, Perancis, Kanada,
Belanda, Malaysia, Turki, Jordan, Sudan, Syria, Maghribi, Tunisia, Lubnan,
Algeria, Nigeria, Arab Saudi dan lain-lain.[1]
Pada
dasarnya, Islam Liberal merupakan produk baru untuk menjelmakan kembali modernisme
Islam di abad ke-21. Modernisme Islam telah lama muncul di kalangan intelektual
Muslim dan menjadi satu pemikiran yang berpengaruh dalam dunia Islam sejak abad
ke-19M.
Oleh
kerana modernisme Islam sangat berkait rapat dengan modernisme Barat, maka
membicarakan pemikiran modernisme dan kemunculannya di Barat sangat penting
untuk difahami sebelum membicarakan tentang modernisme Islam. Perlu ditegaskan
di sini bahawa kemunculan modernisme Islam hanya berlaku sebagai satu
konsekuensi daripada interaksi dunia Islam dengan tamadun Barat. Satu fakta
yang perlu diingat ialah sejak abad ke 16/17 M umat Islam telah dijajah dan
diinfiltrasi oleh pemikiran dan budaya yang asing daripada pemikiran, budaya
dan agama mereka. Reaksi umat pada abad ke 18-19M adalah di antara penolakan
dan penerimaan. Golongan tradisionalis lebih cenderung untuk menentang dan
mengasingkan diri daripada segala bentuk pembaratan (westernization). Namun
golongan modernis pada masa itu yang mempunyai latarbelakang pendidikan Barat
melihat bahawa tamadun Barat memiliki segala kebaikan, dan adalah satu kerugian
besar bahkan dianggap kekolotan jika umat Islam tidak tampil untuk
memperolehinya.
Modernisme
di Barat digerakkan oleh falsafah enlightenment-humanism yang berjaya
mempengaruhi pemikiran sebahagian masyarakat Barat dan majoriti intelektual
mereka. Ahli-ahli falsafah seperti Rene Descartes (1592-1650), John Locke
(1632-1704), Immanuel Kant (1724-1804), David Hume (1711-1776), Auguste Comte
(1798-1857), Jeremy Bentham (1748-1832), J. S. Mill (1806-1873), Nietzsche
(1844-1900) dan lain-lain telah memberikan penekanan terhadap rasionalisme dan
liberalisme atau pembebasan manusia daripada tradisi dan dogma.
Pada
umumnya, modernisme Barat bersifat angkuh dan mengagungkan akal rasional. Sepertimana
yang dapat dilihat pada tulisan ahli-ahli falsafah yang disebutkan di atas,
terdapat tiga premis utama yang mendasari pemikiran modernisme: Pertama, Tuhan
itu tidak wujud atau diragui kewujudannya (ateisme, agnotisme). Kedua, alam
semestawujud secara mekanistik mengikut hukumnya yang tersendiri
(immanentisme). Ketiga, akal rasional dan pancaindera mampu memahami fenomena
alam dengan sendiri (humanisme, rasionalisme).
Modernisme
mencapai tahap kematangan dengan kemunculan positivisme oleh Auguste Comte
(1798-1857) dan Jeremy Bentham (1748-1832). Gerakan keintelektualan ini
bertambah kuat dengan munculnya falsafah eksistensialisme oleh Sartre
(1905-1980) dan logical-positivism oleh kelompok yang dikenali sebagai Vienna
Circle. Pada hari ini, gerakan humanisme dipelopori oleh Council for Secular
Humanism. Menurut mereka, humanisme sekular bermaksud: Cara berfikir dan cara
hidup yang bertujuan untuk memberikan yang terbaik bagi manusia, dengan menolak
segala kepercayaan agama. Humanisme sekular menekankan rasio manusia dan
pengkajian saintifik, kebebasan individu dan pertanggungjawaban, nilai-nilai
kemanusiaan dan kasih sayang serta keperluan terhadap toleransi dan kerjasama.[2]
Pada
asalnya modernisme Islam memperjuangkan pembaharuan dengan menentang taqlid.
Muhammad Abduh, yang dianggap tokoh utama modernis Islam, sebenarnya hanya
menginginkan pembaharuan dalam bidang pendidikan, agar umat Islam tidak
berfikiran jumud dan mundur. Tetapi ia kemudian menjadi satu aliran yang
menjadikan rasionalisme sebagai prinsip dalam setiap pendekatan yang
diambil. Bagi kaum Orientalis golongan modernis
Islam adalah golongan yang mendukung liberalisme dalam Islam dan menyerukan
penafsiran rasional terhadap al-Quran.[3]
Kemunculan
Modernisme Islam adalah akibat dari pertemuan yang tidak seimbang dan
bertentangan antara dunia Islam dan Barat. Penjajahan yang berlaku lebih 400
tahun terhadap umat Islam sedikit sebanyak menyebabkan sikap rendah diri atau
inferiority-complex apabila berhadapan dengan peradaban yang canggih dan hebat.
Perlu ditekankan di sini, modernisme Islam bukanlah satu aliran pemikiran yang
tunggal dan jelas, akan tetapi ia mencakupi beberapa aliran pemikiran yang
berkaitan serta bersesuaian dengan istilah modernisme yang kabur. Gerakan modernisme
telah mengalami perubahan setelah kemunculan Fazlur (1919-1988) yang telah
merangka kerangka pemikiran neomodernisme pada awal 80an. Walau bagaimanapun,
usaha beliau telah dimanfaatkanoleh orang-orang yang berkepentingan untuk
menjustifikasikan kelahiran pemikiran yang lebih radikal, liberal dan berani.
Golongan ini diberi nama Islam Liberal.
Istilah
liberal yang digunakan, menunjuk kaum muslim yang menghargai pandangan barat
dan merasa bahwa kritikan tereselubung atau terang-terangan terhadap islam
sebagaianya dapat dibenarkan. Pada waktu yang sama mereka memandang
dirinya sebagai umat islam dan
berkehendak menjalani kehidupannya sebagai muslim. Sementara kaum konservatif
berusaha menjawab ancaman terhadap jati diri muslim dengan memulangkannya kepada kelemahan yang
ada dalam praktis islam serta menyeru
kembali kepada islam yang lebih sejati yakni kembali mempraktekkan secara
sepenuhnya jati diri tradisional maka kaum liberal mulai mencari jati diri baru yang
setidak-tidaknya dalam beberapa hal lebih selaras dengan nilai-nilai barat.[4]
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana
Biografi Ulil Abshar Abdalla?
2. Bagaimana
latar belakang munculnya Jaringan Islam Liberal?
3. Bagaimana
pemikiran Ulil Abshar Abdalla?
4. Bagaimana
pandangan JIL terhadap Kajian Fiqih?
C.
Tujuan
1.
Untuk menjelaskan biografi Ulil Abshar
Abdalla.
2.
Untuk menjelaskan latar belakang
munculnya Jaringan Islam Liberal.
3.
Untuk menjelaskan pemikiran Ulil Abshar
Abdalla.
4.
Untuk menjelaskan pandangan JIL terhadap
Kajian Fiqih.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Biografi Ulil Abshar Abdalla[5]
Nama : Ulil Abshar Abdhalla
Lahir : Pati, Jawa Tengah, 11 Januari 1967
Jabatan : 1. Koordinator Jaringan Islam Liberal (JIL)
2. Direktur Freedom Institute, Jakarta.
Ayah : Abdullah Rifa'i
Mertua : KH Mustofa Bisri
Alamat : Jl. Utan Kayu No. 68 H, Jakarta Timur
Internet : 1. http://ulil.net/
Lahir : Pati, Jawa Tengah, 11 Januari 1967
Jabatan : 1. Koordinator Jaringan Islam Liberal (JIL)
2. Direktur Freedom Institute, Jakarta.
Ayah : Abdullah Rifa'i
Mertua : KH Mustofa Bisri
Alamat : Jl. Utan Kayu No. 68 H, Jakarta Timur
Internet : 1. http://ulil.net/
2. http://twitter.com/ulil
3. http://www.facebook.com/pages/Ulil-Abshar-Abd.
Pendidikan:
- Madrasah Mathali'ul Falah, Kajen, Pati, Jawa Tengah
- Pondok Pesantren Mansajul 'Ulum, Cebolek, Kajen, Pati
- Pondok Pesantren Al-Anwar, Sarang, Rembang
- Sarjana dari Fakultas Syari'ah LIPIA (Lembaga IP. Islam dan Arab)
- Sempat kuliah di Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara, Jakarta
- Menyelesaikan Program Master di Universitas Boston
- PhD in the Department of Near Eastern Languages and Civilizations, Harvard University
3. http://www.facebook.com/pages/Ulil-Abshar-Abd.
Pendidikan:
- Madrasah Mathali'ul Falah, Kajen, Pati, Jawa Tengah
- Pondok Pesantren Mansajul 'Ulum, Cebolek, Kajen, Pati
- Pondok Pesantren Al-Anwar, Sarang, Rembang
- Sarjana dari Fakultas Syari'ah LIPIA (Lembaga IP. Islam dan Arab)
- Sempat kuliah di Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara, Jakarta
- Menyelesaikan Program Master di Universitas Boston
- PhD in the Department of Near Eastern Languages and Civilizations, Harvard University
Karir:
- Ketua Lakpesdam (Lembaga Kajian dan Pengembangan SDM) NU Jkt
- Ketua Lakpesdam (Lembaga Kajian dan Pengembangan SDM) NU Jkt
-
Staf di Institut Studi Arus Informasi (ISAI), Jakarta
-
Direktur Program Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP)
-
Penasehat Ahli Harian Duta Masyarakat
-
Koordinator Jaringan Islam Liberal (JIL)
-
Direktur Freedom Institute, Jakarta.
B. Latar Belakang Munculnya Jaringan
Islam Liberal
Menurut Adian Husaini[6],
kemunculan istilah Islam Liberal ini, mulai dipopulerkan tahun 1950-an. Tetapi
mulai berkembang pesat terutama di Indonesia tahun 1980-an, yaitu oleh tokoh
utama dan sumber rujukan “utama” komunitas atau Jaringan Islam Liberal[7],
Nurcholish Madjid (Cak Nur).[8]
Kata Liberal mempunyai arti kebebasan,
dalam hal ini kebebasan[9]
dalam berpikir. Islam Liberal juga “mendewakan modernitas[10]”,
sehingga Islam harus disesuaikan dengan kemodernan. Jika terjadi konflik antara
ajaran Islam dan pencapaian modernitas[11],
maka yang harus dilakukan, menurut mereka, bukanlah menolak modernitas, tetapi
menafsirkan kembali ajaran tersebut. Disinilah inti dari sikap dan doktrin
Islam Liberal.[12]
Setelah Cak Nur meluncurkan gagasan
sekulerisasi[13] dan ide-ide teologi inklusif-pluralis[14]
dengan Paramadina-nya, kini kader-kader Cak Nur mengembangkan gagasannya ang
lebih intensif lewat yang mereka singkat dengan JIL. JIL mulai aktif pada Maret
2001 lalu. Kegiatan awal dilakukan dengan menggelar kelompok diskusi maya yang
tergabung dalam Islamliberal@yahoo.com,
selain menyebarkan gagasannya lewat website www.islamlib.com.[15]
Sejak 25 Juni 2005, JIL mengisi
satu halaman Jawa Pos, Minggu, berikut 51 koran jaringannya, dengan artikel dan
wawancara seputar perspektif Ilam Liberal. Tiap Kamis Sore JIL menyiarkan
wawancara langsung dan diskusi interaktif dengan para contributor Islam
Liberal, lewat kantor berita radio 68H dan puluhan radio jaringannya. Dalam
konsep JIL, talkshow[16]
itu dinyatakan sebagai upaya mengundang sejumlah tokoh yang selama ini dikenal
sebagai “pendekatan pulralisme dan inklusivisme” untuk berbicara tentang
berbagai isu sosial keagamaan di tanah air.[17]
JIL juga bekerjasama dengan para
Intelektual, penulis dan akademisi dalam dan luar negeri, untuk menjadi
kontributornya. Mereka adalah[18] Charles
Kurzman, University of North Carolina; Azyumardi
Azra, IAIN Syarif Hidyatullah, Jakarta; Abdallah Laroui, Muhammad V University,
Maroko; Masdar F. Mas’udi, Pusat Pengembangan Pesantren dan Masyarakat, Jakarta;
Goenawan Muhammad, Majalah Tempo, Jakarta; Edward Said; Djohan Effendi, Dein University,
Australia; Abdullahi Ahmad an-Naim, University of Khartoum, Sudan; Jalaludin
Rahmat, Yayasan Muthahhari, Bandung; Asghar Ali Engineer; Nasarudin Umar, IAIN
Syarif Hidayatullah, Jakarta; Muhammad Arkoun, University of Sorbonne, Prancis;
Komaruddin Hidayat, Yayasan Paramadina, Jakarta; Sadeq Jalal Azam, Damaskus
University, Suriah; Said Agil Siraj PBNU, Jakarta; Dennya JA, Universitas
Jayabaya, Jakarta[19]; Rizal
Mallarangeng, CSIS, Jakarta; Budi Munawwar Rahman, Yayasan Paramadina, Jakarta;
Taufik Adnan Amal, IAIN Alaudin, Ujung Pandang; Luthfi Assayaukanie,
Universitas ParamadinaMulya, Jakarta; Saiful Mujani, Ohio State University, AS;
Ade Armando, Universitas Indonesia, Depok;Syamsurizal Panngabean, Universitas
Gajahmada, Yogyakarta. Ada dugaan bahwa tokoh-tokoh di atas ketika belajar ke Barat mengalami
shock culture/ gegar budaya dimana akan terkagum kagum dengan pola pikir Barat
sehingga mereka kehilangan daya kritis. Sebagian besar dari alumni barat yang
berpaham liberal tidak sadar bahwa dirinya sudah menjadi agen Barat.
Selain
tokoh-tokoh di atas, beberapa orang tokoh Muhammadiyah juga aktif mendukung
gagasan Islam Liberal, seperti Abdul Munir Mulkhan dan Sukidi[20].
Bahkan Ketua PP Muhammadiyah, Syafii Ma’arif juga dapat dikategorikan ke dalam
pendukung gagasan Islam Liberal seperti diketahui Maarif adalah pendukung
gagasan-gagasan Liberal (Neomodernime) Fazlur Rahman[21].
Ia juga dikenal getol dalam menolak dikembalikannya Piagam Jakarta ke dalam
Konstitusi.[22]
Misi-misi
titipan yang akan diperjuangkan oleh kaum liberal yang kebanyakan alumni
Barat/Islamic studies adalah:
Pertama mereka mendirikan berbagai
jaringan, kelompok, Lembaga survei/LSM berkedok studi Agama, Budaya dan
Demokrasi tetapi sebenarnya ingin menghabisi ajaran Islam. Contohnya jaringan
Islam liberal (JIL), Lembaga kajian Islam dan Sosial (LKiS), Institut Studi
Arus Informasi (ISAI), yayasan Paramadina, PUAN Amal Hayati, International
Center for Islam and Pluralism (ICIP) dan Indonesian Conference on Religion and
Peace (ICRP). Perlu diingat bahwa ketika mereka mendirikan berbagai macam
lembaga/jaringan tersebut, ternyata dibiayai oleh badan amal Zionis Yahudi asal
Amerika. Seperti The Asia foundation, Ford foundation, RAND Corporation, dan
USAID.[23]
Kedua setelah mendirikan
jaringan/lembaga, selanjutnya mereka akan berusaha menjadi staf ahli di
birokrasi pemerintah seperti Departemen Agama atau kalau beruntung nasibnya
bisa menduduki jabatan Menteri Agama.[24]
Kalau sudah mendominasi Departemen agama atau menggapai jabatan Menteri Agama,
mereka akan membubarkan MUI, membuat Kompilasi Hukum Islam versi mereka
sendiri, membiarkan aliran sesat hidup bahkan bisa-bisa kristenisasi dibiarkan.
Ketiga, berlomba-lomba menerbitkan dan
menyebarkan majalah, jurnal, novel yang berbau aliran kiri (baca: komunis),
buku-buku yang mengandung ajaran Syi’ah dan Liberalisme yang katanya
mengatasnamakan Pembaruan Islam tetapi ujung-ujungnya menghantam Islam.
Contohnya: Fiqih Lintas Agama, Lubang Hitam Agama, Menggugat Otentitas Wahyu
Tuhan, Ijtihad Islam Liberal, Pergolakan Pemikiran Islam-Catatan Harian Ahmad
Wahib, Sunnah-Syi’ah Bergandengan Tangan! Mungkinkah?, Jurnal Relief, Jurnal
Justisia, Majalah Syir’ah, Aku Bangga Jadi Anak PKI.
Keempat, kaum liberal sering melontarkan
berbagai propaganda opini dan pemikiran yang seolah-olah dari Islam namun
sebenarnya tidak ada akarnya dari Islam. Contoh: HAM, kesetaraan Gender,
Hermeneutika, Pluralisme agama,[25]
teologi pembebasan dan Demokrasi. Dalam pandangan penulis, mereka memecah belah
umat Islam dengan klasifikasi kelompok dan istilah-istilah membingungkan.
Contohnya: Islam moderat, Islam abangan, Islam transnasional, Islam peradaban,
Islam teroris, Islam tradisional, dan Islam fundamentalis/garis keras.
Kelima, Dalam berbagai kesempatan mereka juga sangat semangat
membela mati-matian aliran sesat dan propaganda terorisme Amerika yang selalu
merugikan Islam. Mereka juga menjalin kerjasama dengan kaum Nasionalis-Sekular
untuk menguasai panggung politik sehingga mereka bisa seenaknya membuat
peraturan dan Undang-Undang yang sangat kontraproduktif dengan Islam, seperti
Asas Tunggal Pancasila, UU Terorisme, dan UU kekerasan dalam rumah tangga
(KDRT). Tidak lupa juga mereka akan berusaha sekuat tenaga mencegah penerapan
syariat Islam seperti Piagam Jakarta, Perda pandai membaca Al-Qur’an, Perda
Zakat, Perda anti maksiat, pengesahan RUU anti Pornografi dan Pornoaksi.
Secara sederhana, JIL merumuskan tujuan[26] gerakannya ke dalam tiga hal
1. Memperkokoh
landasan demokratisasi lewat penanaman nilai-nilai pluralisme, inklusivisme dan
humanisme
2. Membangun
kehidupan keberagamaan yang berdasarkan pada penghormatan atas perbedaan.
3. Mencegah
agar pandangan – pandangan keagamaan yang militant dan prokekerasan tidak
menguasai wacana publik.[27]
C.
Pemikiran
Ulil Abshar Abdalla
Diantara batu ujian bagi islam di Indonesia
adalah syubhat-syubhat yang di
loncarkan dengan gencaroleh kelompok yang berfaham liberalyang menamakan
dirinya dengan JIL,yang mana pada 18/11/2002, koordinar mereka, Ulil Abdalla,
menurunkan tulisan diharian kompas dengan judul Menyegarkan Kembali Pemikiran
Islam. Tulisan tersebut telah banyak menibulkan reaksi karena bernada makar dan terror. (Terlampir)
Tulisan Ulil tersebut mendapatkan
penilaian pro dan kontra. Salah satu yang kontra terhadap penulisan Ulil
terebut adalah KH Mustafa Bisri, mertua dari Uil sendiri. Di salah satu situs,
beliau menulis artikel yang berjudul “Menyegarkan Kembali Sikap Islam: Beberapa Kesalahan Ulil Abshar Abdalla”. Di dalam artikel
tersebut dijelaskan 4 kesalahan yang dilakkan oleh Ulil, yaitu:
1. Diulang-ulangnya kalimat
yang mirip-atau sengaja diambil dari-ungkapan-ungkapan kebanyakan orientalis
Barat yang paling dibenci oleh mereka yang kontra dengan Ulil.
2. Tulisan itu mestinya bukan
di Kompas yang umumnya tidak dibaca oleh mereka yang ingin dibuatnya geram.
Pembaca Kompasumumnya mereka yang masih mau menyisakan perhatian dan waktu
untuk membaca atau mendengar pendapat orang lain. Akibat salah memilih media,
tulisan itu justru lebih membuat bingung mereka yang selama ini tidak bertipe
sebagaimana sasarannya.
3. Ulil menulis dengan geram!
Kegeraman, bisa mengacaukan pikiran yang jernih; bisa membuat orang bersikap
berlebihan; membuat orang tidak bisa berlaku adil, jejeg. Sikap yang justru dia
sendiri serukan sebagai sesuatu yang mesti diutamakan. Itu sebabnya hakim yang
sedang geram tidak boleh memutuskan hukuman. Kesalahan lain ialah menggunakan
kemampuannya untuk atau mencampurnya dengan urusan “nafsu”.
4. Ulil menulis itu pada bulan
suci Ramadhan, dimana seharusnya umat Islam menyerap kasih sayang Ilahi bagi
merahmati sesama.[28]
Adanya pro kontra terhadap
pemikiran Ulil dikarenakan penafsiran atas doktrin-doktrin kitab suci, baik al
Quran maupun al Hadits yang dibaca sebagaimana adanya, bukan berdasarkan
konteks turunnya. Satu pihak memahami ayat suci al Quran dan hadits berdasarkan
konteksnya sementara di sisi lain apa adanya, sehingga yang muncul adalah arti
lughawi, bukan maknawi atau masud di balik ayat atau hadits tersebut. Oleh sebab itu JIL melalui metode Pembacaan Kritis atas al Quran dan
hadits Nabi, melakukan pendekatan penafsiran secara sistematik tematik-kritis,
dimana menempatkan ayat al Quran dan hadits Nabi tdak melulu sebagai doktrin
bagi umat Islam, tetapi lebih bersifat prinsip-prinsip ajaran etika beragama.
Disinyalir pendapat di atas adalah
perbedaan mendasar antara pendekatan terhadap al Quran dan hadits gaya Islam
Liberal dengan pendekatan kelompok-kelompok Islam pada umumnya[29]
yang masih bergerilya melawan apa yang dianggapnya musuh, yakni system negara
sekuler, seperti Pancasila[30].
Dengan pembacaan yang berbeda, maka hasilnya juga berbeda. Dasar yang dipakai
sama saja yakni al Quran dan hadits Nabi, namun hasil istinbath hokum yang diperoleh berbeda. Ini juga barangkali sisi
realitas umat Islam, berbeda-beda dalam
pemahaman. Tidak bisa meyatukan seluruh pemahaman dan penafsiran
doktrin-doktrin kitab suci, karena ealitasnya umat berbeda-beda tingkatan ilmu,
kemampuan menalar dan apresiasinya.[31]
D.
Pandangan
JIL Terhadap Kajian Fiqih
Pemikiran JIL secara lebih
memdetail sebenarnya tidak jauh berbeda dengan pendapat Fiqih yang tertuang
dalam buku Fiqih Lintas Agama karangan Cak Nur yang sangat bergantung pada
teologi pluralis. Sebab, teologi eksklusif yang ada selama ini dianggap tidak
relevan lagi, karena mengedepankan penolakan terhadap kelompok atau komunitas
lain. Teologi pluralis menyatakan bahwa berbagai agama (Yahudi, Kristen, Islam)
ada kesamaannya atau titik temunya (Kalimah
sawa’), yaitu Ketuhanan yang Maha Esa (tauhid) sesuai dengan QS. Ali Imran
ayat 64. Teologi pluralis memandang bahwa semua agama, meskipun dengan jalan
masing0masing yang berbeda, menuju satu tujuan yang sama, Yang absolute, yang
terakhir, Yang riil, Agama yang benar – yang membawa keselamatan- menurut
teologi ini adalah suatu agama yang berintikan sikap pasrah kepada Tuhan Yang
Maha Esa dan perbuatan baik kepada sesame manusia. Ringkasnya semua agama adalah
‘kepasrahan pada Tuhan’ dan itulah yang dimaksud dengan al Islam. Atas dasar
teologi pluralis itulah dibangun pendapat-pendapat Fiqih – yang disebut-sebut
“peka keragaman ritual” dan “menerima agama lain” – dan diretas kerjasama
lintas agama berupa dialog kehidupan, dialog kerja sosial, dialog teologis dan
dialog spiritual.
Pendapat-pendapat dalam Fiqih
Lintas Agama antara lain:
1.
Boleh mengucpkan salam kepada non-Muslim
Pada
umumnya para ulama berpendapat bahwa hukum mengucapkan salam salam kepada orang
non-Muslim adalah haram, terlarang. Larangan ini didasarkan pada hadis-hadis
Nabi Muhammad saw. Nabi Muhammad saw, bersabda:”Jangan kamu memulai (mengucapkan) salam kepada orang-orang Yahudi dan
Nasrani. Jika kamu menjumpai salah seorang dari mereka di jalan, desaklah dia
ke pinggir.” Hadis ini diriwayatkan ole Muslim melalui Abu Hurairah. Hadis
ini tidak hanya melarang memulai mengucapkan salam kepada orang-orang Yahudi
dan Nasrani, tetapi juga menyuruh orang-orang Muslim untuk bersikap kasar
terhadap mereka yaitu dengan mendesak siapapun diantara mereka ke pinggir
jalan. Hadis ini menampikan Islam dengan wajah garang dan kasar.[32]
Namun,
fatwa larangan mengucapkan salam kepada non-muslim ternyata tidak disetujui
oleh semua ulama. Peristiwa yang terjadi ternyata dalam suatu seminar
agama-agama di sebuah kota kecil di Jawa Tengah pad September 1995, ketika
seorang ulama besar mengucapkan salam kepada para peserta seminar itu, yang
semuanya adalah orang Kristen, membuktikan bahwa ada ulama yang membolehkan
mengucapkan salam kepada orang-orang non-Muslim. Ulama itu mengucapkan salam
kepada peserta yang semuanya adalah Kristen untuk kemaslahatan, yaitu
persaudaraan, persahabatan dan kehangatan.
Penetapan
hukum mengucapkan salam kepada orang-orang non-Muslim harus berdasar pada
kemaslahatan dan hikmah. Di Indonesia banyak orang muslim dan orang non-Muslim
bersahabat atau paling tidak, tidak bermusuhan. Dalam konteks seperti itu,
bertolak dari kemaslahatan dan hikmah, mengucapkan salam kepada orang-orang
non-Muslim adalah tidak dilarang alias boleh.[33]
2. Boleh mengucapkan “Selamat Natal” kepada
Nasrani (dan selamat Hari Raya kepada agama lainnya)
Banyak
ulama berpendapat bahwa mengucpkan ‘Selamat Natal” dilarang oleh ajaran islam.
Di antara alasan larangan ini adalah bahwa mengucapkan “Selamat Natal” berarti
membenarkan ajaran Kristen. Alasan lain: bid’ah. Alasan lain menyerupai
orang-orang kafir. Sebagaimana telah menjadi pengetahuan umum, bahwa MUI juga
mengeluarkan fatwa yang mengharamkan umat Islam mengucapkan “Selamat Natal”,
dengan alasan teologis di atas.[34]
Yang
lebih utama adalah tujuan mengucapkan “Selamat Natal”. Bagi orang-orang Muslim,
pada umumnya, tujuannya adalah untuk pergaulan, persaudaraan dan persahabatan.[35] Pergaulan,
persaudaraan dan persahabatan adalah kemaslahatan. Dengan tujuan kemaslahatan
dan tentu saja tanpa mengorbankan akidah, mengucapkan “Selamat Natal” tentu
saja dibolehkan.
Diantara
orang-orang Muslim di Indonesia, selain ada orang-orang yang mengucapkan
“Selamat Natal” kepada saudara-saudara mereka yang Kristen, mungkin ada
orang-orang yang mengucapkan “Selamat hari Raya Nyepi” kepada saudara-saudara
mereka yang beragama Hindu.[36]
3.
Boleh menghadiri perayaan hari-hari
besar agama-agama lain, misalnya Malam Natalan
Pada
hari Kamis, 15 Mei 2003, diadakan perayaan Waisak Nasional yang dihadiri
sejumlah pemimpin umat berbagai agama dan pejabat tinggi Negara. Diantara
orang-orang Muslim yang menghadiri acara itu adalah Ketua MPR, Amien Rais,
Ketua DPR Akbar Tanjung, cendekiawan Nurcholish Madjid dan mantan Presiden
Abdurrahman Wahid. Dalam kesempatan itu, Cak Nur dan Gus Dur tampil sebagai
pembicara. Cak Nur Mengingatkan bahwa semua agama pada dasarnya berasal dari
satu sumber, yaitu Sang Satu. Beliau berkata:”semua agama dalam inti yang
paling mendalam adalah sama. Dalam bulan yang suci ini karena kebersamaan ada
perayaan Waisak, Maulid Nabi Muhammad saw dan kenaikan Isa al Masih, kita semua
hrus menuju pada kedamaian.” Sementara itu Abdurrahman Wahid[37]
mengatakan bahwa kedatangan Abu Ibrahim
Woila, salah seorang ulama terkemuka dari Aceh Barat, ke rumah Abdullah Faqih
adalah pertanda kalahnya pendapat yang menginginkan Aceh berdiri sendiri.
Karena itu, keutuhan dan kedamaian bangsa harus dijaga bersamaan.[38]
4.
Boleh melakukan doa bersama (antaragama)
Doa
bukan hanya milik orang Islam, tetapi juga milik agama-agama lain. Dapat
dikatakan bahwa doa adalah fenomena umum yang dapat ditemukan dalam semua
agama. Doa adalah salah satu segi utama kehidupan keagamaan umat manusia.
Friedrich Heiler (1892-1967), seorang fenomenolog agama terkemuka kelahiran
Jerman, mengatakan bahwa ‘orang-orang beragama, para pengkaji agama, para
teolog semua kepercayaan dan kecenderungan, sepakat dalam berpendapat bahwa doa
adalah fenomena utama seluruh agama, jantung seluruh kesalehan dan karena
alasan ini, tidak bisa diragukan sama sekali bahwa doa adalah jantung
dan pusat seluruh agama.[39]
Menurut
Nicolas Jonathan Woly, seorang sarjana teologi dari Protestan Indonesia, doa
dapat diklasifikasikan ke dalam empat tipe, yaitu:
a. Doa yang dilakukan ketika para pengikut
dari suatu kelompok keagamaan untuk orang-orang yang menjadi anggota komunitas
iman atau agama lain.
b. Doa ketika seorang individu atau suatu
kelompok keagamaan meminta doa untuknya atau untuk mereka sendiri dari orang-orang
lain yang bukan dari iman yang sama atau agama yang sama.
c. Doa yang dilakukan ketika pada suatu
peristiwa yang dihadiri oleh para penganut agama-agama yang berbeda, satu orang
pemimpin mereka semua dalam melakukan doa itu.
d. Doa pada suatu peristiwa atau pertemuan
yang dipimpin oleh para wakil dari masing-masing agama yang para anggotanya
hadir dalam pertemuan itu dengan cara mereka masing-masing.[40]
Boleh
atau larangan berdoa untuk orang-orang non-muslim dalam al Quran dan
hadis-hadis tidak mungkin tanpa tujuan syariah: yakni kemaslahatan.
Kemaslahatan selalu berkaitan dengan konteks kultural dan sosial. Larangan
berdoa memintakan ampun untuk orang-orang munafik dan musyrik khususnya yang
telah meninggal adalah untuk kemaslahatan. Berdoa untuk orang-orang munafik dan
musyrik yang telah meninggal tidak berguna karena nasib mereka di akhirat tidak
akan berubah dan mereka akan tetap masuk neraka. Berdoa untuk mereka adalah
mubadzir. Maka muncullah larangan beroda untuk mereka.[41]
Belum
ditemukan contoh meminta doa kepada non-muslim pada masa Nabi dan sahabat. Bagi
orang-orang Muslim pluralis sejati, (yang percaya bahwa semua agama, meskipun
dengan jalan masing-masing yang berbeda,
menuju satu tujuan yang sama, Yang Absolut, Yang Terakhir, Yang Riil) meminta
doa kepada orang-orang non-muslim adalh mungkin dan karena itu, tidak
terlarang. Tidak ada larangan meminta doa dari non-Muslim, tetapi lebih baik
dilakukan agar terbebas dari ketidakpastian.[42]
Biasanya
doa atau teks doa yang dibaca dalam doa bersama yang dapat diterima oleh semua
peserta dari agama-agama yang berbeda. Dalam doa bersama jenis ini, seperti
dikatakan di atas, pada umumnya lebih disukai menghindari teks-teks resmi
peribadatan salah satu agama demi menghindari kebingungan. Maka dibuatlah atau
disusunlah sebuah doa atau teks doa yang disetujui oleh semua peserta dari
agama-agama yang berbeda.[43]
5.
Menolak konsep ahl adz-dzimmah, karena
dianggap menomorduakan warga Negara non-Muslim, dengan perlakuan diskriminatif.
Menurut
Dr. Abdul Karim Zaidan, ahl dzimmah
adalah komunitas non muslim yang melakukan kesepakatan untuk hidup di bawah
tanggungjawab dan jaminan kaum muslim. Mereka mendapat perlindungan dan
keamanan. Mereka juga mendapat hak hidup dan tempat tinggal di tengah-tengah
komunitas.
Pandangan
para ulama fiqih terhadap ahl al-dzimmah telah mewarnai sikap kebanyakan umat
Islam terhadap agama lain. Ahl al-dzimmah dianggap sebagai kelonpok minoritas
dan karenanya harus tunduk kepada mayoritas. Dalam kitab Fiqih klasik, mereka
tidak mendapatkan perhatian dan pelayanan sebagaimana umat Islam. Dan ini
sejalan dengan karakter Fiqih klasik, yang mana secara eksplisit ditulis untuk kepentingan umat Islam saja.
sedangkanFiqih yang berkaitan dengan agama lain hamper tidak dijelaskan secara
panjang lebar. Disinilah, amat terkesan bahwa Fiqih klasik telah menelantarkan
dan mendiskriminasikan non-Muslim.[44]
Mazhab
Hanafi misalnya terlihat memberikan ruang bagi ahl al-dzimmah. Menurut mazhab hanafi, mereka diperbolehkan
melaksanakan ritual-ritual dan hukum yang sesuai dengan ajaran mereka, walaupun
ajaran-ajaran tersebut diharamkan bagi umat Islam, seperti mendirikan gereja,
membangun tempat penyembelihan babi dan lain-lain. Mereka mendapatkan kebebasan
untuk mengekspresikan keberagaman mereka secara terbuka.[45]
Perlakuan
diskriminatif terhadap ahl al-dzimmah sama
sekali tidak dibenarkan apalagi dalam sebuah Negara yang menganut system
demokrasi , yang mana setiap warga Negara mempuyai hak yang sama. Karenanya,
fiqih klasik amat tidak memadai, apalagi jika mempertahankan sikap ketatnya
terhadap ahl al-dzimmah. Fiqih klasik
mesti direformasi dan merujuk kepada semangat awalnya sebagai komitmen untuk
membangun toleransi, kesepahaman dan kesetaraan antara penganut agama.
Pluralisme dan multikulturalisme merupakan fenomena terkini yang tidak bisa
dihindarkan dan fiqih sejatinya dapat membawa pesan-pesan moralnya guna
mengukuhkan semangat keragaman tersebut.[46]
6.
Menolak konsep jizyah karena ‘illat
(alasan penetapan hukum) jizyah[47]
tidak ada lagi.
Jizyah
dilatarbelakangi historis tertentu yaitu perang. Dan karenanya tidak bisa
dibelakukan dalam siatuasi normal.kewajiban
membayar jizyah yang perlu ditinjau lagi, bahkan kita bis saja menasakh hokum
jizyah. Da aedah fiqih yang membenarkan cara pandang seperti itu, bahwa sebah
legalitas sebuah hokum tergantung sebab musababnya. Jikalau sebab musabab hukum
tersebut sudah tidak ada lagi, maka hokum dengan sendirinya batal (al-hukum
yaduru ma’a al-‘illah wujudan wa ‘adaman). Tidak adanya perang antara Muslim
dan non-Muslim, dengan sendirinya telah menghlangkan hokum pembayaran jizyah.[48]
Jizyah
merupakan konsep politik yang digunkan penguasa sebagai denda bagi mereka yang
memerangi. Islam dalam konsep jizyah, sebagaimana disinyalir al Quran,
sebebnarnya hanya melanjutkan tradisi-tradisi sebelumnya. Melihat realitas dan
konteks yang berbeda antara zaman dulu dan sekarang, maka konsep jizyah,
sebaiknya tidak diambil secara harfiyah, melainkan perlu penafsiran lebih maju.
Diantaranya konsep tersebut bukan sebagai pemerasan dan pendiskriminasian terhadap
mereka
Konsep
Jizyah merupakan konsep yang kehadirannya mempunyai konteksnya sendiri,
terutama tatkala umat Muslim dan umat no-Muslim berada dalam peperangan. Dan
dalam kondii seperti ini, diperlukan sebuah kesepkatan yang jelas, sehingga
tidak mengganggu stabilitas pemerintahan Islam. Konsep jizyah merupakan salah
satu cara yang digunakan al Quran dan diperintahkan Tuhan bukan untuk memeras
dan menomorduakan agama lain, melainkan sebagai cara untuk membangun
kesepakatan yang tidak merugikan kedua belah pihak.[49]
7.
Wanita Muslimah boleh menikah dengan
laki-laki non-Muslim
Dalam
masalah pernikahan wanita muslim dengan laki-laki non-Muslim (baik Kristen,
Yahudi atau agama-agama non-semitik lainnya) terdapat persoalan serius, karena
tidak ada teks suci, baik al Quran, hadis atau kitab Fiqih sekalipun yang
memperbolehkan pernikahan seperti itu. Tapi menarik juga untuk dicermati,
karena tidak ada larangan yang sharih.
Yang ada justru hadis yang tidak begitu jelas kedudukannya, Rasulullah saw,
bersabda, kami menikahi wanita-wanita Ahli
Kitab dan laki-laki ahli kitab tidak boleh menikahi wanita-wanita kami
(Muslimah). Khalifah Umar bin Khattab dalam sebuah pesannya, seorang Muslim
menikahi wanita nasrani,akan tetapi laki-laki nasrani tidak boleh menikahi
wanita Muslimah.”
Setelah
diteliti, hadis yang disebutkan di atas dikomentari oleh Shudqi Jamil
al-Aththar sebagai hadis yang tidak
shahih. Hadis tersebut tergolong hadis mawquf
yaitu hadis yang sanadnya terputus hingga Jabir, sebagaimana dijelaskan
al Imam Syafi’I dalam kitabnya, al-Um sedangkan ungkpan Umar ibn Khattab
merupakan sebuah kekhawatiran bila wanita-wanita uslim dinikahi laki-lai non
Muslim, maka mereka akan pindah agama. Dan umat Islam pada saat ini membutuhkan
kuantitas dan sejumlah penganut yang setia.
Jadi,
soal pernikhan laki-laki non-Mslim dengan wnita Muslim merupakan wilayah
ijtihadi dan terikat dengan konteks tertentu, diantaranya konteks dakwah Islam
pada saat itu. Yang mana jumlah umat Islam tidak sebebsar saat ini, sehingga
pernikahan antar agama merupakan sesuatu yang terlarang.
Karena
kedudukannya sebgai hukum yang lahir atau proses ijtihad, maka amat
dimungkinkan bila dicetuskan pendapat baru, bahwa wanita Muslim boleh menikah
dengan laki-laki non-Muslim, atau pernikahan beda agama secara luas amat
diperbolehkan, apapun agama dan aliran kepercayaannya. Hal ini merujuk pada
semangat yang dibawa al Quran sendiri. Pertama,
bahwa pluralitas agama merupakan sunnatullah yang tidak bisa dihindarkan. Tuhan
menyebut agama-agama samawi dan mereka membawa ajaran amal saleh sebagai orang
yang akan bersama-Nya di surga nanti. Bahka Tuha secara eksplisit menyebutkan
agar perbedaan jenis kelamin dan suku sebagai tanda agar satu dengan yang
lainnya saling mengenal. Dan pernikahan antarbeda agama dapat dijadikan salah
satu ruang, yang mana antara penganut agama dapat saling berkenalan secara
lebih dekat.
Kedua,
bahwa tujuan dari diberlangsungkannya pernikahan adalah untuk membangun tali
kasih (al mawaddah) dan tali saying (al rahmah). Sedangkan pernikahan beda
agama justru dapat dijadikan wahana untuk membangun toleransi dan kesepahaman
antara masing-masing pemeluk agama. Bermula dari ikatan tali kasih dan tali
saying, maka dirajutlah kerukunan dan kedamaian.[50]
Ketiga,
semangat yang dibawa Islam adalah pembebasan, bukan belenggu. Dan
tahapan-tahapan yang dilakukan oleh al Quran sejak larangan pernikahan dengan
orang musyrik, lalu membuka jalan bagi pernikahan dengan Ahli Kitab nerupakan
sebuah tahapan pembebasan secara evolutif. Dan pada saatnya, kita harus melihat
agama lain bukan sebagai kelas kedua dan bukan pula ahl al-dzimmah dalam arti menekan mereka melainkan sebagai warga
Negara.[51]
8.
Boleh pewarisan beda agama, karena
sekarang hubungan Muslim dan non-Muslim dianggap sudah normal dan kondusif
sehingg hadis yang melarang hal itu tidak bisa diamalkan.[52]
Menurut Hartono Ahmad Jaiz,
diantara pendapat-pendapat kaum pendukung Islam liberal tentang Fiqih adalah
sebagai berikut:[53]
1.
Al Quran adalah teks dan harus dikaji
dengan hermeneutika
Mengkaji
al Quran sebagai teks dengan konteks bukanlah sesuatu cara yang terlalu baru.
Apalagi istilah hermeneutika pun mempunyai banyak makna. Ada makna pada tataran
filosofis, dan ada makna pada tataran sosiologis dan historis. Sesungguhnya,
ulama tafsir klasik pun telah menggunakan kajian Asbabun Nuzul yang memberi
konteks dari turunnya sesuatu ayat. Apa yang dikhawatirkan orang adalah bahwa
penggunaan kajian hermeneutika terhadap al Quran, akan berarti penerapan kajian
biblical[54]
untuk al Quran dan memaingkan arti teks al Quran dengan dalih hermeneutika. Ada
kekeliruan asumsi di sini, antara perbedaan status teks al Quran yang selamanya
orisinal sebagai wahyu Tuhan, dan teks biblical yang ditulis oleh orang-orang
yang hidup beberapa lama setelah Nabi Isa.
2. Kitab-kitab
tafsir klasik tu tidak diperlukan lagi
Jika
ini adalah pendapat JIL, maka ini adalah pertanda kerancuan berpikir yang
jelas, karena komunikasi dengan pemikiran para mufasir klasik itu sangat
diperlukan justru antara lain untuk memahami konteksnya dan memahami konteks
masyarakat mereka. Dan pemahaman konteks itu adalah anjuran dari hermeneutika.
Jadi, kalau kitab-kitab klasik tidak diperlukan lagi, sebenarnya bertentangan
dengan amjuran penggunaan hermeneutika itu sendiri.
3. Poligami
harus dilarang
Pelarangan
atas poligami sesungguhnya bukan sesuatu yang baru. Di Turki dan Tunisia, hal
itu sudah berjalan lama. Tetapi pelarangan itupun tidak berarti mengbah
larangan Islam yang sudah diatur dal al Quran, bahwa poligami itu memang
diperbolehkan dengan syarat-syarat tertentu. Pelarangan poligami di Turki dan
Tunisia itu hanyalah bersifat menonaktifkan sesuatu aturan syariat pada suatu
masa di suatu tempat tertentu. Hal itu juga pernah dilakukan oleh Umar bin
Khattab ketika memberhentikan pemberlakuan hokum potong tangan atas pencuri
dalam konteks tertentu pada waktu tertentu dan di tempat tertentu. Umar bin
Khattabsama sekali tidak mengklaim bahwa aturan syariat tentang hukum potong
tangan dalam al Quran itu telah ditiadakan. Masalahnya adalah, boleh jadi pada
suatu ketika nanti di suatu masyrakat tertentu, karena peperangan misalnya,
akan terjadi ketidakseimbangan yang besar antara penduduk laki-laki dan
perempuan, dimana, jumlah penduduk perempuan jauh melebihi jumlah penduduk
lakilaki. Dalam hal demikian, maka poligami pada saat itu justru mungkin harus
dianjurkan untuk mewujudkan keadilan dalam masyarakat. Dengan demikian, teks al
Quran tentang kebolehan poligami tidak perlu dihapuskan. Saran penghapusan
seperti itu sesungguhnya menunjukkan kerancuan berpikir antara aturan sebagai
hokum dan pelaksanaan aturan hokum sebagai kemaslahatan di lapangan.
4. Mahar
dalam perawinan boleh dibayar oleh suami atau istri
Dalam
bahasa Inggris, kata dowry memang
bisa berarti pemberian dari pihak calon suami kepada calon istri atau
sebaliknya. Pemberian seperti itu tentu saja tidak bermasalah, baik dilakukan
sebalum maupun sesudah perkawinan. Bahkan tukar menukar pemberian pun tentu
baik-baik saja. Tetapi mahar dalm konteks akad nikah adalah pemberian calon
suami kepada calon istri sebagai symbol bahwa mulai saat itu tanggungjawab
nafkah istri berada pada pihak suami. Makna simbolik ini tentu tidak bisa
menjadi pemberian istri kepada suami.
5. Masa
iddah juga harus dikenakan kepada laki-laki, baik cerai hidup ataupun cerai
mati
Di
sini terjadi kerancuan antara berpikir hokum dan berpikir psikologis. Masa
iddah bagi perempuan memang mengandung aspek psikologis karena tentu tidak
etislah seseorang perempuan yang baru sehari diceraikan suaminya atau kematian
suaminya kemudian menikah lagi. Tetapi lebih penting dari itu, wanita harus
menunggu pembuktian ada tidaknya kehamilan di dalam dirinya, meskipun alat-alat
kedokteran baru mungkin mampu mendeteksi ketiadaan kehamilan pada hari pertama
setelah perceraian atau kematian suami, tetapi kesempurnaan pemahaman itu baru
akan terjadi setelah tiga kali putaran menstruasi atau 4 bulan dan 10 hari
setelah kematian suami. Laki-lakipun secara psikologis memang perlu waktu
menunggu setelah perceraian atau kematian istrinya sebalum melakukan perkawinan
baru, tetapi waktu tunggu itu semata-mata masalah psikologi dan bukan masalah
kejelasan keturunan kelak, seperti terjadi pada perempuan. Jadi memang ada
perbedaan antara berpikir secara hokum dan berpikir secara psikologis.
6. Pernikahan
untuk jangka waktu tertentu boleh hukumnya
Pendapat
ini terkesan terpengaruh oleh pendapat kaum Syiah yang selama ini memng
memperbolehkan nikah mut’ah atau kawin untuk jangka waktu tertentu. Nikah
mut’ah memang pernah dibolehkan pada zaman Nabi, tetapi kemudian dilarang
kembali. Konteksnya pada waktu itu ialah bahwa pasukan yang berperang di negeri
jauh tidak memungkinkan berkomunikasi dengan istrinya, karena tekonologi
komunikasi belum memungkinkan, sekarang ketika tekonologi komunikasi begitu
mudah, ada korespondensi, SMS, email, telepon suara, telepon bergambar, video,
dan sebagainya, maka komunikasi dapat dilkukan kemanapun suami pergi. Karena
itu,usul untuk membuka kembali pintu nikah mut’ah sebenarnya justru tidak
berpikir kontekstual. Usul seperti itu lebih dikhawatirkan sebagai upaya
melonggar-longgarkan aturan agma. Apalagi lembga nikah mut’ah itu memang telah
jelas –jelas dilarang.
7. Bagian
warisan untuk anak laki-laki dan anak perempuan sama 1:1
Di
Turki, Tunisia dan Somalia, pernah diberlakukan undang-undang yang mengatur
warisan untuk anak laki-laki dan perempuan adalah sama. Di Indonesia pun,
melalui Kompilasi Hukum Islam, hal itu dapat dilakukan atas kesepakatan bersama
antara para ahli waris yang ada, setelah mereka mengetahui bagiannya
masing-masing, tetapi sekali lagi teks nash tidak perlu diubah, karena pada
suatu ketika mungkin akan terjadi suatu konteks yang justru menginginkan apa
yang diatur oleh teks mash sekarang ini.
8. Anak
diluar nikah yang diketahui secara pasti ayah biologisnya tetap mendapatkan hak
warisan dari ayahnya.
Lagi-lagi
di sini terjadi kerancuan antara berpikir hukum dan berpikir non hokum. Nikah
adalah suatu lembaga yang secara hokum memberikan legalitas. Pada sisi lain,
hak warisan adalah salah satu bentuk hak hokum. Karena itu, berbicara hak
warisan harus didasarkan kepada hak-hak hokum dan hak hokum hanya ada pada
legalitas.
Di dalam buku berjudul Wajah-Wajah Liberal Islam di Indonesia,
terdapat beberapa contoh tentang Fiqih yang berpandangan bahwa hukum potong
tangan terhadap pencuri sebenarnya tidak dapat diterapkan pada ranah sosial
yang belum merata tingkat perekonomian masyarakatnya, Artinya, sebelm
melaksanakan hukuman itu, perlu adanya pelaksanaan syariat yang mendorong
proses perubahan sosial menuju tatanan yang lebih adil, lebih sejahtera dimana
orang miskin dijamin oleh Negara, kemudian setelah hal tersebut dilaksanakan,
baru membicarakan tentang syariat yang memberikan hukuman.[55]
E.
Analisi
Terkadang pemikiran orang yang netral
diputarbalikkan menjadi orang yang pro terhadap JIL seperti yang terdapat di
dalam wawancara pada buku wacana islam liberal di indonesia
Adanya embel-embel Liberal, cenderung
menimbulkan kecurigaan terhadap JIL. menggambarkan komunitas Islam yang
menekankan kebebasan pribadi terhadap pembebasan dari struktur sosial politik
yang ada. karena Liberal adalah buah dari modernisme yng didengungkan oleh Barat.
Beberapa orang berpendapat jika Ulil memberikan pemikirannya tanpa ada kata
Liberal, mungkin adanya pro dan kontra bisa diminimalisir dan banyak pihak yang
kemudian iktu dalam pemikiran Ulil. Namun, ketika hal itu tidak seperti yang
dicita-citakan, maka banyak serangan terhadap pemikiran Ulil, terutama dari
orang-orang fundamentalis-tradisional, hingga puncaknya ketika terjadi
peristiwa bom buku yang dialamatkan pada Ulil beberapa waktu yang lalu.
Ada beberapa gerakan keagamaan di
Indonesia yang memiiki corak pemikiran berbeda pandangannya terhadap
Islam, yaitu:
1.
Tradisionalis
Cenderung
literalis (fiqh), Mempertahankan tradisi lokal, tidak bisa membedakan mana
ajaran dan non ajaran. Luwes dalam politik.
2.
Modernis.
Penafsiran
kontekstual, Menolak cara pandang agama yang rigid. Menentang sikap taklid,
dakwah berorientasi tajdid & sosial.
3.
Fundamentalis.
Militan,
gaya bicara normatif, secara
retorika seringkali lebih superior, anti slogan-slogan
barat, anti tasawuf; Bersedia
memakai penemuan dan teknologi modern untuk mencapai tujuan mereka
4.
Liberal.
Kebebasan
berkreasi tanpa batas, Anti Negara islam, menganggap tradisi masa lalu tidak
relevan, agama
dibatasi pada lingkup pribadi; mendewa-dewakan wordview Barat
Pemikiran produk Ulil tentang Islam
Liberal belum tentu dilakukan oleh Ulil.[56] Bisa
saja yang diinginkan oleh Ulil hanyalah sebatas wacana yang dijadikan sebuah
tawaran kepada umat Islam di Indonesia untuk lebih mengedapankan akal dalam
menafsirkan kembali al Quran dan Hadits sesuai dengan kondisi masyarakat yang berubah dan perkembangan
zaman.
Kaum Liberal secara selektif mendukung kaum sekuler,
yaitu dengan mendorong pengakuan fundamentalisme
sebagai suatu musuh bersama; mendorong ide bahwa agama dan Negara juga dapat
dipisahkan dalam Islam dan bahwa hal ini tidak membahayakan keimanan tapi malah
akan memperkuatnya.
Dalam kajian Fiqih JIL, kiranya
perlu memperhatikan sejarah awal mulanya ilmu Fiqih di masa lampau. Gencarnya ekspansi yang dilakukan
oleh para sahabat ke beberapa daerah yang masing-masing mempunyai beragam latar
belakang etnis dan sosio-kultural. Perbedaan letak geografis dengan segala
dimensinya ini kemudian mempengaruhi corak Fikih mereka. Di Madinah, mayoritas
penduduknya mengikuti Fikih Khulafa al-Rasidin, Abdullah bin Umar, dan ‘Aisyah.
Di Makkah Fikih yang diikuti adalah Fikih ‘Abdullah bin ‘Abas. Penduduk Kufah
berpegang pada fatwa-fatwa Abdullah bin Mas’ud. Penduduk Bashrah merujuk pada
Abi Musa al-Asy`ari dan Anas bin Malik. Masyarakat Syam bertumpu pada fatwa
Mu’adz bin Jabal, ‘Ubadah bin Shamid. Sementara di Mesir rujukannya adalah
fatwa ‘Abdullah bin ‘Amru bin ‘Ash.
Fenomena
di atas menandakan bahwa Islam dapat ditafsirkan ke dalam sejumlah inklinasi
Fikih yang beragam karena pertimbangan letak geografis beserta konteks
sosio-kulturalnya. Hal ini selaras dengan kaidah Fikih “tradisi adalah basis
hukum” (al-‘Âdat Muhakkamah) atau kaidah “hukum Islam secara dinamis dapat
berubah menyesuaikan perubahan waktu, kondisi, situasi, dan letak geografis”
(al-Ahkâm Tataghayyar bi Taghayyur al-Azminah wa al-Ahwâl wa al-‘Amkinah).
Kaidah-kaidah ini sejatinya hendak memberikan otoritas pada tradisi yang
adiluhung (‘urf al-shâlih) guna merelevansikan mekanisme aplikasi hukum. Dari
kaidah ini terlihat betapa para ulama telah memberikan apresiasi yang begitu
tinggi terhadap tradisi dan –sebagai konsekuensi logis– relativisme Fikih
menjadi sebuah keniscayaan yang wajar.
Dalam melihat JIL, maka pendekatan
fenomenologi, bisa lebih dikedepankan. Kita membenarkan adanya
keberadaan/eksistensi JIL, namun tidak sepenuhnya kita membenarkan pemikiran
JIL, karena ada beberapa pemikiran yang perlu dikaji lebih mendalam lagi. Kita
tidak bisa serta merta menyalahkan Ulil dengan JIL-nya secara membabi buta.
Mengutip seperti apa yang dikatakan oleh Jalaluddin Rakhmat, “bahwasanya Tuhan
menciptakan berbagai agama itu dimaksudkan untuk menguji kita semua; seberapa
banyak kita memberikan kontribusi kebaikan kepada umat manusia. Kepada Tuhanlah
semua agama itu kembali, maka kita tidak boleh mengambil alih Tuhan untuk
menyelesaikan perbedaan agama dengan cara apapun, termasuk dengan fatwa”. Bila
kepada agama yang berkeyakinan berbeda saja kita perlu memberikan penafsiran
pemikiran, maka tidak ada salahnya bila juga memberikan penafsiran yang sama
terhadap JIL.
Ada ajaran yang bersifat
particular, bersifat pribadi dan ada yang bersifat universal. Agama yang
bersifat universal itulah yang harus dipromosikan. Universal disini adalah
nilai-nilai ajaran suatu agama seperti keadilan, toleransi, kemanusiaan,
berbuat baik kepada sesama dan lain sebagainya, yang mana nilai-nilai itu ada
dan diajarkan di setiap agama yang ada. Hal ini yang nantinya akan memperkaya
dan ikut membantu proses pendewasaan serta proses pematangan umat beragama
dalam melaksanakan kehidupan umat beragama yang harmonis.
Perdebatan dan eksistensi tentang
adanya JIL masih akan berlanjut hingga waktu yang tidak bisa diprediksi.
Mengutip kata Gus Dur,” Jangan banyak berdebat, biar sejarah yang akan
membuktikan.”
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Islam liberal atau
yang popular dengan sebutan JIL adalah sebuah gerakan yang bermula dari ajang
kongkow-kongkow di jalan Utan kayu 69 H, Jakarta timur. Tempat ini sejak 1996
menjadi ajang pertemuan para seniman sastra, teater, musik, film dan seni rupa.
Tujuan dibentuknya
JIL ini adalah; (1) memperkokoh landasan demokratisasi lewat
penanaman nilai-nilai pluralisme, inklusivisme dan humanism, (2) membangun
kehidupan keberagamaan yang berdasarkan pada penghormatan atas perbedaan dan
(3) mencegah agar pandangan – pandangan keagamaan yang militant dan
prokekerasan tidak menguasai wacana publik.
Kegiatan yang dilakukan JIL, yang
dikoordinir oleh Ulil Abshar Abdalla, untuk menyebarluaskan gagasan dan
pemikiran-pemirannya adalah dengan menggelar kelompok diskusi maya yang
tergabung dalam Islamliberal@yahoo.com,
melalui artikel-artikel, wawancara, diskusi interaktif dengan para contributor
Islam Liberal, lewat kantor berita radio 68H dan puluhan radio jaringannya.
Dalam konsep JIL, talkshow itu dinyatakan sebagai upaya mengundang sejumlah
tokoh yang selama ini dikenal sebagai “pendekatan pulralisme dan inklusivisme”
untuk berbicara tentang berbagai isu sosial keagamaan di tanah air.
Adanya pro kontra terhadap
pemikiran Ulil dengan JIL-nya (dalam tulisan yang berjudul Menyegarkan Kembali Pemikiran Islam) dikarenakan
penafsiran atas doktrin-doktrin kitab suci, baik al Quran maupun al Hadits yang
dibaca sebagaimana adanya, bukan berdasarkan konteks turunnya. Satu pihak
memahami ayat suci al Quran dan hadits berdasarkan konteksnya sementara di sisi
lain apa adanya, sehingga yang muncul adalah arti lughawi, bukan maknawi atau
masud di balik ayat atau hadits
tersebut. Oleh sebab itu JIL melalui metode pembacaan kritis atas al Quran dan hadits Nabi,
melakukan pendekatan penafsiran secara sistematik tematik-kritis, dimana
menempatkan ayat al Quran dan hadits Nabi tdak melulu sebagai doktrin bagi umat
Islam, tetapi lebih bersifat prinsip-prinsip ajaran etika beragama.
[2] Council for Secular Humanism,
www. secularhumanism.org/:diakses tanggal 19 Juni 2010
[3]
http://khairaummah.com/Menggunakan Joomla/ diakse 19 Juni 2011
[4] William Montgomery Watt. Fundamentalisme Islam dan Modernitas.
Terj. Taufik Adnan Amal, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2007, hal. 129
[6] Beliau adalah Sekjen Komite
Indonesia untuk Solidaritas Dunia Islam (KISDI) dan juga aktivis Hizbut Tahrir
Indonesia serta pernah menjadi anggota Majelis Tabligh dan Dewan Khusus PP
Muhammadiyah)
[7] Zuly Qodir. Islam Liberal: Paradigma Baru
Wacana dan Aksi Islam Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007. hal.
189, menyatakan bahwa secara sederhana
Islam Liberal adalah Islam yang menawarkan keislaman yang relevan dengan
kondisi real masyarakat Islam, bukan kontradiktif dengan realitas masyarakat
tanah air, serta toleran Islam untuk semua umat beragama.
[8] Adian Husaini. Islam Liberal: Sejarah, Konsepsi,
Penyimpangan dan Jawabannya. Jakarta: Gema Insani Press, 2002. Hal.2
[9] Islam telah menetapkan kebebasan
kepada setiap manusia da menjadikannya sebagai suatu yang wajib baginya dan
bukan hanya sekedar dispensasi, karena manusia dilahirkan dalam keadaan bebas
dan harus hidup dalam keadaan bebas pula serta upaya menjaga kebebasannya.
Islam juga memberikan kebebasan kepada manusia untuk bertindak, baik dalam
perkataan maupun perbuatan, denga kehendak dan pilihannya, tanpa adanya tekanan
ataupun paksaan. Lihat Wahbah Az-Zuhaili, Kebebasan
dalam Islam, Jakarta: Al-Kautsar, 2005, hal 79. Yang perlu digarisbawahi
menurut pandangan JIL ini adalah Islam telah menetapkan realtivitas kebebasan
tersebut sesuai dengan konsekuensi kehidupan sosial dalam keharusan dan
kejelasan yang sangat, karena pemberlakuan istilah akan memberi keputusan
terhadap beberapa hak dan kebebasan orang lain, bahkan terhadap semua orang.
[10] Modernitas adalah pemberontakan
radikal dalam melawan agama serta nilai-nilai spiritual yang terkandung di
dalamnya. Pemberontakan ini telah menghasilkan gerakan renaissance di Eropa,
khususnya filsafat politiknya Machiavelli yang jahat dan hanya menurutkan hawa
nafsunya belaka. Karenanya tidak berlebih-lebihan untuk mengatakan bahwa
modernisme sekarang ini seolah-olah
menjadi kepercayaan yang universal. Semua orang yang memeluk paham ini dipuji
sebagai bangsa yang maju dan progresif sedang mereka yang menetang gerakan ini
digelari sebagai bangsa yang terbelakang, kuno serta reaksioner. Karena alasan
inilah banyak pemimpin Asia dan Afrika, setelah memperoleh kemerdekaan
politiknya, sering dijumpai menjadi pengabdi modernism yang lebih fanatic
daripada pengabdiannya kepada kaum kolonis yang pernah menjajah mereka
sebelumnya. Lihat Islam dan Modernisme,
terj. A. Jainuri & Syafiq A. Mughni, hal. 23
[11] Ajaran modernisme yang
terpenting adalah penolakan terhadap Hari Akhir. Penolakan ini tidak bisa tidak
menuju pada kesimpulan bahan kesenangan jasmani, kamakmuran materi, kesuksesan
dunia serta kebahagiaan pribadi adalah satu-satunya tujuan hidup yang sangat
berharga.hal ini jelas merupakanpengabaian moral dengan menolak
pertanggugjawaban manusia atas tingkah lakunya terhadap Tuhan serta merusak
keyakinan tentang pasti diperolehnya keadilan itu kelak kemudian hari. Semua
ideology kaum modernis bercirikan penyembahan manusia dengan kedok ilmu
pengetahuan. Kaum modernis yakin bahwa kemajuan di bidang ilmu pengetahuan
akhirnya bisa memberikan kepada manusia semua kekuatan Tuhan. Bentuk
pengagungan manusia tersebut kemudian menimbulkan Nasionalisme. Nasionalisme
ditandai dengan penyembahan kolektif
dari seseorang yang memiliki kelompok tertentu dengan merasa benci terhadap
orang asing dan kaum minoritas. Hal ini
terlihat seperti tindakan kaum Nazi Jerman terhadap kaum Yahudi, Israil
terhadap bangsa Arab, orang-orang Turki di Siprus dan akhir-akhir ini seperti
ditunjukkan bangsa kulit putih AfrikaSelatan terhadap bangsa kulit hitam.Islam dan Modernisme. hal. 40-41. Di
dalam buku yang sama ajaran Modernisme juga menyebarluaskan penyimpangan
sejarah Islam. Hal. 73-76
[12] Adian Husaini. Op.Cit, hal. 3
[13] Akhmad Taufik dalam buku Sejarah Pemikiran dan Tokoh Modernisme,
Jakarta: PT. Rajagrafindo, 2005, hal. 159, menjelasnkan bahwa pemikiran Cak Nur
untuk membawa umat Islam menjawab tantangan zaman, yaitu penggunaan akal
sebagai upaya pembebasan manusia dari kungkungan cultural, pemikiran keagamaan
yang membelenggu dan menghalangi manusia untuk berpikir. Penggunaan akal
merupakan petunjuk agama yang harus dilaksanakan oleh umat manusia sebagaimana
oleh al Quran. Ide sekulerisasi atau devaluasi radikal yang dianjurkan Cak Nur
secara garis besar telah memisahkan masalah urusan duniawi dan ukhrawi.
Diantaranya, (1) persoalan duniawi, cukup diurus oleh ilmu dan kemampuan akal
rasional, (2) agama lebih mementingkan komnikasi psikologi0spiritual dan (3)
pemisahan secara jelas wilayah yang sakral dan wilayah yang temporal. Lihat
juga H.A.R. Gibb. Aliran-Aliran Moderen
dalam Islam. Jakarta: Rajawali, 1990, hal. 83
[14] Bangunan
epistemologis teologi inklutif Cak Nur diawali dengan tafsiran al-Islam sebagai
sikap pasrah kehadirat tuhan. Kepasrahan itu kata Cak Nur, menjadi
karaktaristik pokok semua agama yang benar. Inilah world view al-quran bahwa
seua agama yang benar adalah al-islam yakni sikap berserah diri ke hadirat tuhan(
Q.S. 29:46). Dalam konteks inilah sikap pasrah menjadi kualifikasi siknifikan
pemikiran teologi inklisif ca knur. Bukan saja kualifikasi seorang yang
beragama islam tetapi muslimin itu sendiri (secara generic) juga dapat menjadi
kualifikasi bagi penganut agama lainya. Khususnya bagi penganut kitap suci,
baik yahudi maupun Kristen. Maka konsekuensi secara teologis bahwa siapapun
diantara kita baik sebagai orang islam, yahudi ,Kristen yang benar-benar
beriman kepada tuhan dan hari kemudian , serta berbuat kebaikan , maka akan
mendaptkan pahala disisi tuhan. Dengan kata lain , sesuai firman tuhan ini,
terdapat jaminan teologis bagi umat beragama,apapun agamanya, untuk menerima pahala dari Tuhan.
[15] Adian Husaini. Op.Cit. Hal. 4
[16] Talkshow ini semula diikuti oleh
10 radio. Empat radio I JABodetabek yaitu Radio Attahiriyah FM (Rdio Islam),
Radio Muara FM (Radio Dangdut), Radio
Star FM (Tangerang), Radio Ria FM (Depok) dan enam Radio di daerah yaitu Radio
Smart (Menado), Radio DMS (Maluku), Radio Unisi (Yogyakarta), Radio PTPN
(Solo), Radio Mara (Bandung), Radio Prima FM (Aceh) yang merupakan jaringan 68
H. Lama-lma jaringan Radio 68 Hterus bertambah.
[17] Adian Husaini. Op.Cit. Hal. 4
[18] Adian Husaini. Op.Cit. Hal. 5
[19]
Dr.Denny JA,
juga
menulis,”Sudah saatnya komunitas Islam Liberal di Indonesia
mengembangkan sebuah teologi tersendiri yang sah secara substansi dan
metodologi yaitu teologi Islam Lliberal.ini adalah filsafat keagaman yang
berstandar pada teks dan tradisi islam sendiri, yang member pembenaran pada sebuah
kultur liberal . dalam politik,teologi itu menjadi teologi Negasa Seluler (TNS)
yaitu sebuah filsafat keagamaan yang menggali teks dan tradisi islamyang
paralel atau membenarkan perlunya sebuah Negara yang
seluler sekalligus demokratis”
[20]
Sukidi, aktivitas PASP Muhammadiyah menulis di Koran Jawa
Pos(11/1/2004),”Dan konsekuesnsi, ada banyak kebenaran dalam tradisi dan
agama-agamanya. Nietzche menegaskan adanya kebenaran tunggal dan justru
bersikap aafirmatif terhadap banyak kebenaran. Mahatma Gandhi pun seirama
dengan mendeklarasikan bahwa semua agama entah Hinduisme, Budhhisme, Yahudi,
Kristen, Islam, Zoroaster maupun lainnya
adalah benar. Dan konsekuensinya kebenaran ada dan ditemukan pada semua agama.
Agama-agama itu diibaratkan dalam nalar pluralism Gandhi seperti pohon yang
memiliki banyak cabang (many) tapi berasal dari satu akar (the one) akar yang satu itulah yang menjadi asal dan
orientasi agama-agama. Karena itu marilah kita memprolamasikan kembali bahwa
pluralisme agama sudah menjadi hukum tuhan (sunnatullah) yang tidak mungkin
berubah dank arena itu mustahil pula kita melawan dan menghindari sebagai
muslim kita tidak punya jalan lain selain sikap positif dan optimis dalam
menerima pluralism agama sebagai hukum Tuhan.”
[21] Rahman merupakan tokoh pembaruan
pemikiran yang memiliki wawasan yang cemerlang dalam menyampaikan
pemikiran-pemikirannya. Yang patut digarisbawahi dari pemikiran Rahman adalah
al Quran harus ditangkap secara utuh dan mempertimbangkannya secara kritis
latar belakang sosio cultural turunnya ayat, sehingga pemikiran-pemikiran yang
merupakan konstribusi dalam menjawab tantangan zaman dapat
dipertanggungjawabkan. Rahman juga beranggapan bahwa pemikiran modernisme
mempunyai keemahan karena tidak menawarkan rumusan alternatif pemikiran
modernisme dan lebih banyak mengadopsi gagasan Barat dalam perspektif pemikiran
Islam. Sedangkan dalam Islam terutama pada al Quran telah memuat semua
sektor pengetahuan, baik pengetahuan
kehidupan duniawi dan pengetahuan kehidupan ukhrawi. Justru Barat banyak
mengadopsi dari al Quran dalam mengkaji ilmu pengetahuan. Lihat Fazlur Rachman,
al Islam, Jakarta Bina Aksara. Hal.
350-357 dan William Montgomery Watt. Fundamentalisme
Islam dan Modernitas. Terj. Taufik Adnan Amal, Jakarta: RajaGrafindo Persada,
2007, hal. 142-143
[22] Adian Husaini. Op.Cit. Hal. 6
[23]
Hartono A. Jaiz,
Jejak Tokoh Islam dalam Kristenisasi,
(Jakarta : Darul
Falah, 2004). h. 158-164
[24] Ketika
penyusunan Kabinet Indonesia
bersatu II, nama Dr.
Nasarudin Umar di sebut-sebut akan menjadi kandidat kuat menteri agama RI.
Namun, yang terpilih justru Suryadharma ali. Suryadharma adalah alumni IAIN
Jakarta yang juga Ketua Umum PPP. Suryadharma pernah sesumbar akan membubarkan
Ahmadiyah pasca lebaran. Tapi hingga sekarang tidak jelas kelanjutannya.
[25] Kasus yang teranyar adalah tindakan tidak fair enam guru besar yang meluluskan
disertasi Abd. Moqsith Ghazali. Padahal dalam disertasi ini banyak penafsiran
al-Qur'an yang mengabaikan dan memisahkan antara keimanan kepada Allah Swt
dengan keimanan terhadap nabi Muhammad Saw. Dalam disertasi aktivis Jaringan
Islam Liberal (JIL) ini, disebutkan, ”Secara
eksplisit Al-Quran menegaskan bahwa siapa saja – Yahudi, Nashrani, Sabi’in, dan
lain-lain – yang menyatakan hanya beriman kepada Allah, percaya akan Hari
Akhir, dan melakukan amal saleh, tak akan pernah disia-siakan oleh Allah.
Mereka akan mendapatkan balasan yang setimpal atas keimanan dan segala jerih
payahnya.” (Lihat disertasi Perspektif Al-Quran tentang Pluralitas
Umat Beragama hal. 192). Jadi
tanpa beriman kepada Rasulullah Muhammad, amal seorang Yahudi, Kristen dan Sabi'in
sama kedudukannya dengan amal orang Muslim.
[26] Di makalah
berjudul Gerakan Islam Liberal di
Indonesia yang disampaikan oleh Atho Mudzhar pada seminar Internasional
Tajdid Pemikiran Islam: Menyatukan Khazanah Pemikiran Umat Islam di Era
Globalisasi dan Liberalisasi, tanggal 21 Oktober 2009, dijelaskan bahwasanya
kegiatan-kegiatan JIL ditujukan untuk turut memberikan kontribusi dalam
membedakan maraknya fundamentalime keagamaan di Indonesia sekaligus membuka
pemahaman public terhadap pemahaman keagamaan yang pluralis dan demokratis.
Secara khusus, kegiatan-kegiatan JIL ditujukan untuk:(1)Menciptakan intellectual discourses tentang isu-isu keagamaan yang pluralis dan
demokratis serta berspektif gender;(2)
Membentuk intellectual community yang
bersifat organik dan responsis serta berkemauan keras untuk memperjuangkan
nilai-nilai keagamaan yang suportif terhadap pemantapan konsolidasi demokrasi
di Indonesia;dan (3) Menggulingkan intellectual
networking yang secara aktif melibatkan jaringan kampus, lembaga swadaya
masyarakat, media massa dan lain-lain untuk menolak fasisme atas nama agama.
[27] Adian Husaini. Op.Cit Hal. 8
[28] Ulil Abshar Abdalla, dkk. Islam Liberal dan Fundamental: Sebuah Pertarungan Wacana, Yogyakarta:
elSAQ Press, 2005, hal. 165-168
[29] Kelonpok-kelopok Islam ini
diantaranya adalah Hizbut Tahrir Indonesia, Ahlussunnah walJamaah, Majelis
Mujahiddin, Front Pembela Islam, Ikhwanul Muslimin. HAMMAS, dan Majelis
Mujahidin Indonesia.
[30] Ideology atau falsafah hidup
yang didasarkan pada agama, seperti yang banyak kita jumpai di kalangan Islam
di negeri kita, dahulupun mudah diterima oleh karena kebiasaan hidup kita dari
semenjak sebelum lair sampai akhir ayat penuh diliputi oleh ajaran agama itu.
Pancasila memang diterima oleh kalangan Islam, oleh karena mereka memberikan
tafsiran yang tidak berlawanan dengan Islam. Banyak dari ajaran-ajaran Islam
yang tidak tercakup oleh Pancasila, atau tidak dipersoalkan oleh Pancasila. Islam
mengajarkan tauhid, dengan pengertian yang ketat; Pancasila, walau
ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, sekurang-kurangnya membiarkan orang bertrinitas
(pada agama Kristen), berdewa banyak (pada agama Hindu) atau tidak membicarakan
Tuhan sama sekali (pada agama Budha). Islam mengajarkan iman kepada rasul-rasul
dan dalam rangka ini ia mengakui antara lain nabi-nabi Ibrahim, Musa dan Isa
serta Nabi Muhammad saw) sebagai rasul. Pancasila tidak perlu menyuruh meyakini
hal ini, sejauh ia tidak berkenaan dengan keyakinan orang-orang Kristen (yang
tidak mempercayai Muhammad sebagai Nabi), atau Hindu dan Budha (yang tidak
mempunyai Nabi-Nabi tersebut). Islam mewajibkan umatnya shalat puasa Ramadhan,
membayar zakat, mengerjakan haji, dan banyak lagi ketentuan-ketentuan lain,
yang bagi Pancasila tidak perlu merupakan kewajiban atau ketentuan. Ini tidak
berarti bahwa Islam bertentangan dengan Pancasila; pada umumnya kadang terdapat
kesepakatan di negeri kita bahwa hal-hal ibadah seperti ini dibiarkan tegak,
dan sering digalakkan. Sekurang-kurangnya kita dapat diperhatikan, bahwa
kemudahan diberikan di negri kita untuk melaksanakan ibadah tersebut,
sebagaimana kemudahan yang samadinikmati oleh para pengikut agama lain. Lihat
Deliar Noer, Islam, Pancasila dan Asas
Tunggal. Jakarta: Paradigma Press, Cet. II, 1984, hal. 113-114
[31] Zuly Qodir. Islam Liberal: Paradigma Baru
Wacana dan Aksi Islam Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007. hal.
213-214
[32] Nurcholish Madjid, dkk. Fiqih Lintas Agama. Jakarta: Yayasan
Wakaf Paramadina, 2004, hal. 68-69
[33] Ibid, hal. 78
[34] Ibid, hal. 80
[35]Setiap agama mengelu-elukan
perilaku universal sebagai landasan kepercayaan: tujuh komandan dalam agama
Yahudi, khotbah di atas gunung dalam agama Kristen, enam pengasingan dalam
agama Budha, semua ini merupakan beberapa contoh dari perilaku baik. Ini dapat
menjadi positif seperti “kamu tidak boleh membunuh”,”cintailah tetanggamu”.
Harapan dalam agama Yahudi, kedermawanan dalam agama Kristen dan keimanan dalam
agama Islamjuga merupakan bentuk dasar (prototype) perilaku yang baik. Perilau
yang baim dapat dirumuskan dalam cara Kantian “berbuatlah seolah-oleh
perilakumu dapat digunakan sebagai peraturan bagi semua manusia”. Perilaku
universal didasarkan pada keinginan Tuhan. Keinginan Tuhan merupakan pengalaman
manusiawi yang dirasakan oleh setiap orang. Ia merupakan ungkapan kesalehan
yang dalam, keihlasan yang sangat tinggi dan kesucian yang absolut. Perilaku
baik tanpa didasari niat baik, akan rapuh. Ia akan berhenti segera setelah
memotivasinya berubah. Lihat Hasan Hanafi, Etika
Global dan Solidaritas kemanusiaan Sebuah Pendekatan Islam, dalam buku yang
berjudul Islam dan Humanisme:Aktualisasi
Humanisme Islam di Tengah Krisis Humanisme Universal. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2007, hal.9
[36] Nurcholish Madjid, dkk. Op.Cit, hal. 84-85
[37] Di acara Kick Andy sekitar tahun
2008, pada waktu itu yang menjadi bintang tamu adalah Gus Dur. Dalam acara
tersebut ada beberapa pihak yang berkomentar tentang pemikiran Gus Dur.
Diantaranya adalah putri beliau yang bernama Inayah. Inayah
berkomentar,”sebenarnya secara tidak langsung Gus Dur ingin menciptakan
perdamaian dan Rekonsiliasi. Salah satu contohnya adalah PKI, yang merupakan
sebuah upaya bagaimana terjadi rekonsiliasi diantara sesama anak bangsa di
Indonesia. Dan sebenarnya tidak ada kontroversi bila kita mau memahaminya”.
Masih di acara yang sama, Dr. Handoyo (tokoh yang memerankan karakter Gus Pur
dalam acara News Dot Com di Metro TV) juga angkat bicara. Beliau
mengatakan,”Gus Dur gemar berdiskusi dengan orang-orang yang warnanya pelangi,
menurut terminologi politik dari yang paling kiri hingga yang paling kanan,
tidak pandang suku dan agama. Selain itu, bila ditilik lebih jauh mind setting
Gus Dur selalu ada paham Keislaman, keindonesiaan, kemanusiaan yang
diimplementasikan dalam kata demokrasi, Pluralisme dan kesamaan dalam serta
tidak ada diskriminasi”
[38] Nurcholish Madjid, dkk. Op.Cit, hal. 88
[39] Ibid, hal. 93-94
[40] Ibid. hal. 95-97
[41] Ibid, hal. 102
[42] Ibid, hal.103
[43] Ibid, hal.105
[44] Ibid, hal. 146
[45] Ibid. Hal 147
[46] Ibid. Hal 150
[47] Pajak yang diberikan kepada
non-muslim (ahli kitab) seagai imbalan atas pembebasan mereka dari kewajiban
untuk mempertahankan negara atau imbalan atas jaminan keamanan dan perlindungan
mereka serta berbagai hak sipil sebagai warga negara yang sejajar dengan kaum
muslimin.
[48] Ibid. Hal 151-152
[49] Ibid. Hal 153
[50] Ibid. Hal 164
[51] Ibid. Hal 164-165
[52] Ibid.
[53]
Makalah berjudul Gerakan Islam Liberal di Indonesia yang
disampaikan oleh Atho Mudzhar pada seminar Internasional Tajdid Pemikiran
Islam: Menyatukan Khazanah Pemikiran Umat Islam di Era Globalisasi dan
Liberalisasi, tanggal 21 Oktober 2009
[54]
Yang berhubungan dengan
kitab injil
[55] Luthfie Assyaukanie. Wajah-Wajah Liberal Islam di Indonesia.
Jakarta: Teater Utan Kayu, 2002, hal. 106
[56] Ada yang
berpendapat bahwa Pemikiran Ulil tidak bebas seratus persen. Sebagai alumni
pesatren, ia tetap apresiatif terhadap kelimuan pesantren. Melalui kolomnya On
Being Muslim ,Ulil ternyata mendapatkan akar-akar liberalisme pemikiran
keislamannya juga dari ilmu-ilmu tradisional oleh para ustadnya di pesantren.
Ilmu-ilmu pesantren semacam balaghah dan
mantiq tampaknya turut melatih ulil
perihal bagaimana menstrukturkan kata dan kalimat, mesistematiskan argument
serta mengukuhkan kekuatan dalam bernalar. Hanya kalangan fundamentalis saja
yang mencoba melakukan perlawan retorik. Majalah seperti Sabili, Hidayatullah, dan
media-media di lingungan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesi mencoba untuk
memberikan counter opini terhadap
gagasan-gagasan yang diusung JIL. Setelah Ulil pergi, dinamika pemikiran dan
gerakan Islam kontemporer kembali adem ayem.