Sabtu, 09 Juni 2018

Ulil Abshar Abdalla


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Di akhir abad ke dua puluh Masehi, umat Islam dikejutkan dengan fenomena baru dalam pemikiran Islam. Golongan yang memperkenalkan diri sebagai Islam Liberal ini telah menggemparkan dunia Islam dengan isu-isu yang kontroversial dan ide-ide yang berani. Gerakan Islam Liberal cukup popular di Indonesia. Namun begitu, tidak ramai yang menyedari sebenarnya gerakan ini mempunyai jaringan yang luas, bukan saja di dunia Islam bahkan juga hampir di serata dunia termasuk Mesir, India, Pakistan, Bangladesh, Amerika, Perancis, Kanada, Belanda, Malaysia, Turki, Jordan, Sudan, Syria, Maghribi, Tunisia, Lubnan, Algeria, Nigeria, Arab Saudi dan lain-lain.[1]
Pada dasarnya, Islam Liberal merupakan produk baru untuk menjelmakan kembali modernisme Islam di abad ke-21. Modernisme Islam telah lama muncul di kalangan intelektual Muslim dan menjadi satu pemikiran yang berpengaruh dalam dunia Islam sejak abad ke-19M.
Oleh kerana modernisme Islam sangat berkait rapat dengan modernisme Barat, maka membicarakan pemikiran modernisme dan kemunculannya di Barat sangat penting untuk difahami sebelum membicarakan tentang modernisme Islam. Perlu ditegaskan di sini bahawa kemunculan modernisme Islam hanya berlaku sebagai satu konsekuensi daripada interaksi dunia Islam dengan tamadun Barat. Satu fakta yang perlu diingat ialah sejak abad ke 16/17 M umat Islam telah dijajah dan diinfiltrasi oleh pemikiran dan budaya yang asing daripada pemikiran, budaya dan agama mereka. Reaksi umat pada abad ke 18-19M adalah di antara penolakan dan penerimaan. Golongan tradisionalis lebih cenderung untuk menentang dan mengasingkan diri daripada segala bentuk pembaratan (westernization). Namun golongan modernis pada masa itu yang mempunyai latarbelakang pendidikan Barat melihat bahawa tamadun Barat memiliki segala kebaikan, dan adalah satu kerugian besar bahkan dianggap kekolotan jika umat Islam tidak tampil untuk memperolehinya.
Modernisme di Barat digerakkan oleh falsafah enlightenment-humanism yang berjaya mempengaruhi pemikiran sebahagian masyarakat Barat dan majoriti intelektual mereka. Ahli-ahli falsafah seperti Rene Descartes (1592-1650), John Locke (1632-1704), Immanuel Kant (1724-1804), David Hume (1711-1776), Auguste Comte (1798-1857), Jeremy Bentham (1748-1832), J. S. Mill (1806-1873), Nietzsche (1844-1900) dan lain-lain telah memberikan penekanan terhadap rasionalisme dan liberalisme atau pembebasan manusia daripada tradisi dan dogma.
Pada umumnya, modernisme Barat bersifat angkuh dan mengagungkan akal rasional. Sepertimana yang dapat dilihat pada tulisan ahli-ahli falsafah yang disebutkan di atas, terdapat tiga premis utama yang mendasari pemikiran modernisme: Pertama, Tuhan itu tidak wujud atau diragui kewujudannya (ateisme, agnotisme). Kedua, alam semestawujud secara mekanistik mengikut hukumnya yang tersendiri (immanentisme). Ketiga, akal rasional dan pancaindera mampu memahami fenomena alam dengan sendiri (humanisme, rasionalisme).
Modernisme mencapai tahap kematangan dengan kemunculan positivisme oleh Auguste Comte (1798-1857) dan Jeremy Bentham (1748-1832). Gerakan keintelektualan ini bertambah kuat dengan munculnya falsafah eksistensialisme oleh Sartre (1905-1980) dan logical-positivism oleh kelompok yang dikenali sebagai Vienna Circle. Pada hari ini, gerakan humanisme dipelopori oleh Council for Secular Humanism. Menurut mereka, humanisme sekular bermaksud: Cara berfikir dan cara hidup yang bertujuan untuk memberikan yang terbaik bagi manusia, dengan menolak segala kepercayaan agama. Humanisme sekular menekankan rasio manusia dan pengkajian saintifik, kebebasan individu dan pertanggungjawaban, nilai-nilai kemanusiaan dan kasih sayang serta keperluan terhadap toleransi dan kerjasama.[2]
Pada asalnya modernisme Islam memperjuangkan pembaharuan dengan menentang taqlid. Muhammad Abduh, yang dianggap tokoh utama modernis Islam, sebenarnya hanya menginginkan pembaharuan dalam bidang pendidikan, agar umat Islam tidak berfikiran jumud dan mundur. Tetapi ia kemudian menjadi satu aliran yang menjadikan rasionalisme sebagai prinsip dalam setiap pendekatan yang diambil.  Bagi kaum Orientalis golongan modernis Islam adalah golongan yang mendukung liberalisme dalam Islam dan menyerukan penafsiran rasional terhadap al-Quran.[3]
Kemunculan Modernisme Islam adalah akibat dari pertemuan yang tidak seimbang dan bertentangan antara dunia Islam dan Barat. Penjajahan yang berlaku lebih 400 tahun terhadap umat Islam sedikit sebanyak menyebabkan sikap rendah diri atau inferiority-complex apabila berhadapan dengan peradaban yang canggih dan hebat. Perlu ditekankan di sini, modernisme Islam bukanlah satu aliran pemikiran yang tunggal dan jelas, akan tetapi ia mencakupi beberapa aliran pemikiran yang berkaitan serta bersesuaian dengan istilah modernisme yang kabur. Gerakan modernisme telah mengalami perubahan setelah kemunculan Fazlur (1919-1988) yang telah merangka kerangka pemikiran neomodernisme pada awal 80an. Walau bagaimanapun, usaha beliau telah dimanfaatkanoleh orang-orang yang berkepentingan untuk menjustifikasikan kelahiran pemikiran yang lebih radikal, liberal dan berani. Golongan ini diberi nama Islam Liberal.
Istilah liberal yang digunakan, menunjuk kaum muslim yang menghargai pandangan barat dan merasa bahwa kritikan tereselubung atau terang-terangan terhadap islam sebagaianya dapat dibenarkan. Pada waktu yang sama mereka memandang dirinya  sebagai umat islam dan berkehendak menjalani kehidupannya sebagai muslim. Sementara kaum konservatif berusaha menjawab ancaman terhadap jati diri muslim  dengan memulangkannya kepada kelemahan yang ada dalam praktis islam serta  menyeru kembali kepada islam yang lebih sejati yakni kembali mempraktekkan secara sepenuhnya jati diri tradisional maka kaum liberal  mulai mencari jati diri baru yang setidak-tidaknya dalam beberapa hal lebih selaras dengan nilai-nilai barat.[4]
B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana Biografi Ulil Abshar Abdalla?
2.      Bagaimana latar belakang munculnya Jaringan Islam Liberal?
3.      Bagaimana pemikiran Ulil Abshar Abdalla?
4.      Bagaimana pandangan JIL terhadap Kajian Fiqih?
C.    Tujuan
1.   Untuk menjelaskan biografi Ulil Abshar Abdalla.
2.   Untuk menjelaskan latar belakang munculnya Jaringan Islam Liberal.
3.   Untuk menjelaskan pemikiran Ulil Abshar Abdalla.
4.   Untuk menjelaskan pandangan JIL terhadap Kajian Fiqih.

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Biografi Ulil Abshar Abdalla[5]
Nama         : Ulil Abshar Abdhalla
Lahir          : Pati, Jawa Tengah, 11 Januari 1967
Jabatan      : 1. Koordinator Jaringan Islam Liberal (JIL)
                    2. Direktur Freedom Institute, Jakarta.
Ayah         : Abdullah Rifa'i
Mertua       : KH Mustofa Bisri
Alamat      : Jl. Utan Kayu No. 68 H, Jakarta Timur
Internet     :  1. http://ulil.net/
                     2. http://twitter.com/ulil
                     3. http://www.facebook.com/pages/Ulil-Abshar-Abd.
Pendidikan:
- Madrasah Mathali'ul Falah, Kajen, Pati, Jawa Tengah
- Pondok Pesantren Mansajul 'Ulum, Cebolek, Kajen, Pati
- Pondok Pesantren Al-Anwar, Sarang, Rembang
- Sarjana dari Fakultas Syari'ah LIPIA (Lembaga IP. Islam    dan Arab)
- Sempat kuliah di Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara, Jakarta
- Menyelesaikan Program Master di Universitas Boston
- PhD in the Department of Near Eastern Languages and Civilizations, Harvard University
Karir:
- Ketua Lakpesdam (Lembaga Kajian dan Pengembangan SDM) NU Jkt
- Staf di Institut Studi Arus Informasi (ISAI), Jakarta
- Direktur Program Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP)
- Penasehat Ahli Harian Duta Masyarakat
- Koordinator Jaringan Islam Liberal (JIL)
- Direktur Freedom Institute, Jakarta.

B.     Latar Belakang Munculnya Jaringan Islam Liberal
Menurut Adian Husaini[6], kemunculan istilah Islam Liberal ini, mulai dipopulerkan tahun 1950-an. Tetapi mulai berkembang pesat terutama di Indonesia tahun 1980-an, yaitu oleh tokoh utama dan sumber rujukan “utama” komunitas atau Jaringan Islam Liberal[7], Nurcholish Madjid (Cak Nur).[8]
Kata Liberal mempunyai arti kebebasan, dalam hal ini kebebasan[9] dalam berpikir. Islam Liberal juga “mendewakan modernitas[10]”, sehingga Islam harus disesuaikan dengan kemodernan. Jika terjadi konflik antara ajaran Islam dan pencapaian modernitas[11], maka yang harus dilakukan, menurut mereka, bukanlah menolak modernitas, tetapi menafsirkan kembali ajaran tersebut. Disinilah inti dari sikap dan doktrin Islam Liberal.[12]
Setelah Cak Nur meluncurkan gagasan sekulerisasi[13] dan ide-ide teologi inklusif-pluralis[14] dengan Paramadina-nya, kini kader-kader Cak Nur mengembangkan gagasannya ang lebih intensif lewat yang mereka singkat dengan JIL. JIL mulai aktif pada Maret 2001 lalu. Kegiatan awal dilakukan dengan menggelar kelompok diskusi maya yang tergabung dalam Islamliberal@yahoo.com, selain menyebarkan gagasannya lewat website www.islamlib.com.[15]
Sejak 25 Juni 2005, JIL mengisi satu halaman Jawa Pos, Minggu, berikut 51 koran jaringannya, dengan artikel dan wawancara seputar perspektif Ilam Liberal. Tiap Kamis Sore JIL menyiarkan wawancara langsung dan diskusi interaktif dengan para contributor Islam Liberal, lewat kantor berita radio 68H dan puluhan radio jaringannya. Dalam konsep JIL, talkshow[16] itu dinyatakan sebagai upaya mengundang sejumlah tokoh yang selama ini dikenal sebagai “pendekatan pulralisme dan inklusivisme” untuk berbicara tentang berbagai isu sosial keagamaan di tanah air.[17]
JIL juga bekerjasama dengan para Intelektual, penulis dan akademisi dalam dan luar negeri, untuk menjadi kontributornya. Mereka adalah[18] Charles Kurzman, University of North  Carolina; Azyumardi Azra, IAIN Syarif Hidyatullah, Jakarta; Abdallah Laroui, Muhammad V University, Maroko; Masdar F. Mas’udi, Pusat Pengembangan Pesantren dan Masyarakat, Jakarta; Goenawan Muhammad, Majalah Tempo, Jakarta; Edward Said; Djohan Effendi, Dein University, Australia; Abdullahi Ahmad an-Naim, University of Khartoum, Sudan; Jalaludin Rahmat, Yayasan Muthahhari, Bandung; Asghar Ali Engineer; Nasarudin Umar, IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta; Muhammad Arkoun, University of Sorbonne, Prancis; Komaruddin Hidayat, Yayasan Paramadina, Jakarta; Sadeq Jalal Azam, Damaskus University, Suriah; Said Agil Siraj PBNU, Jakarta; Dennya JA, Universitas Jayabaya, Jakarta[19]; Rizal Mallarangeng, CSIS, Jakarta; Budi Munawwar Rahman, Yayasan Paramadina, Jakarta; Taufik Adnan Amal, IAIN Alaudin, Ujung Pandang; Luthfi Assayaukanie, Universitas ParamadinaMulya, Jakarta; Saiful Mujani, Ohio State University, AS; Ade Armando, Universitas Indonesia, Depok;Syamsurizal Panngabean, Universitas Gajahmada, Yogyakarta. Ada dugaan bahwa tokoh-tokoh di atas ketika belajar ke Barat mengalami shock culture/ gegar budaya dimana akan terkagum kagum dengan pola pikir Barat sehingga mereka kehilangan daya kritis. Sebagian besar dari alumni barat yang berpaham liberal tidak sadar bahwa dirinya sudah menjadi agen Barat.
Selain tokoh-tokoh di atas, beberapa orang tokoh Muhammadiyah juga aktif mendukung gagasan Islam Liberal, seperti Abdul Munir Mulkhan dan Sukidi[20]. Bahkan Ketua PP Muhammadiyah, Syafii Ma’arif juga dapat dikategorikan ke dalam pendukung gagasan Islam Liberal seperti diketahui Maarif adalah pendukung gagasan-gagasan Liberal (Neomodernime) Fazlur Rahman[21]. Ia juga dikenal getol dalam menolak dikembalikannya Piagam Jakarta ke dalam Konstitusi.[22]
Misi-misi titipan yang akan diperjuangkan oleh kaum liberal yang kebanyakan alumni Barat/Islamic studies adalah:
Pertama mereka mendirikan berbagai jaringan, kelompok, Lembaga survei/LSM berkedok studi Agama, Budaya dan Demokrasi tetapi sebenarnya ingin menghabisi ajaran Islam. Contohnya jaringan Islam liberal (JIL), Lembaga kajian Islam dan Sosial (LKiS), Institut Studi Arus Informasi (ISAI), yayasan Paramadina, PUAN Amal Hayati, International Center for Islam and Pluralism (ICIP) dan Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP). Perlu diingat bahwa ketika mereka mendirikan berbagai macam lembaga/jaringan tersebut, ternyata dibiayai oleh badan amal Zionis Yahudi asal Amerika. Seperti The Asia foundation, Ford foundation, RAND Corporation, dan USAID.[23]
Kedua setelah mendirikan jaringan/lembaga, selanjutnya mereka akan berusaha menjadi staf ahli di birokrasi pemerintah seperti Departemen Agama atau kalau beruntung nasibnya bisa menduduki jabatan Menteri Agama.[24] Kalau sudah mendominasi Departemen agama atau menggapai jabatan Menteri Agama, mereka akan membubarkan MUI, membuat Kompilasi Hukum Islam versi mereka sendiri, membiarkan aliran sesat hidup bahkan bisa-bisa kristenisasi dibiarkan.
Ketiga, berlomba-lomba menerbitkan dan menyebarkan majalah, jurnal, novel yang berbau aliran kiri (baca: komunis), buku-buku yang mengandung ajaran Syi’ah dan Liberalisme yang katanya mengatasnamakan Pembaruan Islam tetapi ujung-ujungnya menghantam Islam. Contohnya: Fiqih Lintas Agama, Lubang Hitam Agama, Menggugat Otentitas Wahyu Tuhan, Ijtihad Islam Liberal, Pergolakan Pemikiran Islam-Catatan Harian Ahmad Wahib, Sunnah-Syi’ah Bergandengan Tangan! Mungkinkah?, Jurnal Relief, Jurnal Justisia, Majalah Syir’ah, Aku Bangga Jadi Anak PKI.
Keempat, kaum liberal sering melontarkan berbagai propaganda opini dan pemikiran yang seolah-olah dari Islam namun sebenarnya tidak ada akarnya dari Islam. Contoh: HAM, kesetaraan Gender, Hermeneutika, Pluralisme agama,[25] teologi pembebasan dan Demokrasi. Dalam pandangan penulis, mereka memecah belah umat Islam dengan klasifikasi kelompok dan istilah-istilah membingungkan. Contohnya: Islam moderat, Islam abangan, Islam transnasional, Islam peradaban, Islam teroris, Islam tradisional, dan Islam fundamentalis/garis keras.
Kelima, Dalam berbagai kesempatan mereka juga sangat semangat membela mati-matian aliran sesat dan propaganda terorisme Amerika yang selalu merugikan Islam. Mereka juga menjalin kerjasama dengan kaum Nasionalis-Sekular untuk menguasai panggung politik sehingga mereka bisa seenaknya membuat peraturan dan Undang-Undang yang sangat kontraproduktif dengan Islam, seperti Asas Tunggal Pancasila, UU Terorisme, dan UU kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Tidak lupa juga mereka akan berusaha sekuat tenaga mencegah penerapan syariat Islam seperti Piagam Jakarta, Perda pandai membaca Al-Qur’an, Perda Zakat, Perda anti maksiat, pengesahan RUU anti Pornografi dan Pornoaksi.
Secara sederhana, JIL merumuskan tujuan[26] gerakannya ke dalam tiga hal
1.      Memperkokoh landasan demokratisasi lewat penanaman nilai-nilai pluralisme, inklusivisme dan humanisme
2.      Membangun kehidupan keberagamaan yang berdasarkan pada penghormatan atas perbedaan.
3.      Mencegah agar pandangan – pandangan keagamaan yang militant dan prokekerasan tidak menguasai wacana publik.[27]

     C.    Pemikiran Ulil Abshar Abdalla
Diantara batu ujian bagi islam di Indonesia adalah syubhat-syubhat yang di loncarkan dengan gencaroleh kelompok yang berfaham liberalyang menamakan dirinya dengan JIL,yang mana pada 18/11/2002, koordinar mereka, Ulil Abdalla, menurunkan tulisan diharian kompas dengan judul Menyegarkan Kembali Pemikiran Islam. Tulisan tersebut telah banyak menibulkan reaksi karena bernada makar dan terror. (Terlampir)
Tulisan Ulil tersebut mendapatkan penilaian pro dan kontra. Salah satu yang kontra terhadap penulisan Ulil terebut adalah KH Mustafa Bisri, mertua dari Uil sendiri. Di salah satu situs, beliau menulis artikel yang berjudul “Menyegarkan Kembali Sikap Islam: Beberapa Kesalahan Ulil Abshar Abdalla”. Di dalam artikel tersebut dijelaskan 4 kesalahan yang dilakkan oleh Ulil, yaitu:
1. Diulang-ulangnya kalimat yang mirip-atau sengaja diambil dari-ungkapan-ungkapan kebanyakan orientalis Barat yang paling dibenci oleh mereka yang kontra dengan Ulil.
2.  Tulisan itu mestinya bukan di Kompas yang umumnya tidak dibaca oleh mereka yang ingin dibuatnya geram. Pembaca Kompasumumnya mereka yang masih mau menyisakan perhatian dan waktu untuk membaca atau mendengar pendapat orang lain. Akibat salah memilih media, tulisan itu justru lebih membuat bingung mereka yang selama ini tidak bertipe sebagaimana sasarannya.
3. Ulil menulis dengan geram! Kegeraman, bisa mengacaukan pikiran yang jernih; bisa membuat orang bersikap berlebihan; membuat orang tidak bisa berlaku adil, jejeg. Sikap yang justru dia sendiri serukan sebagai sesuatu yang mesti diutamakan. Itu sebabnya hakim yang sedang geram tidak boleh memutuskan hukuman. Kesalahan lain ialah menggunakan kemampuannya untuk atau mencampurnya dengan urusan “nafsu”.
4.  Ulil menulis itu pada bulan suci Ramadhan, dimana seharusnya umat Islam menyerap kasih sayang Ilahi bagi merahmati sesama.[28]
Adanya pro kontra terhadap pemikiran Ulil dikarenakan penafsiran atas doktrin-doktrin kitab suci, baik al Quran maupun al Hadits yang dibaca sebagaimana adanya, bukan berdasarkan konteks turunnya. Satu pihak memahami ayat suci al Quran dan hadits berdasarkan konteksnya sementara di sisi lain apa adanya, sehingga yang muncul adalah arti lughawi, bukan maknawi atau masud di balik ayat atau hadits  tersebut. Oleh sebab itu JIL melalui metode Pembacaan Kritis atas al Quran dan hadits Nabi, melakukan pendekatan penafsiran secara sistematik tematik-kritis, dimana menempatkan ayat al Quran dan hadits Nabi tdak melulu sebagai doktrin bagi umat Islam, tetapi lebih bersifat prinsip-prinsip ajaran etika beragama.
Disinyalir pendapat di atas adalah perbedaan mendasar antara pendekatan terhadap al Quran dan hadits gaya Islam Liberal dengan pendekatan kelompok-kelompok Islam pada umumnya[29] yang masih bergerilya melawan apa yang dianggapnya musuh, yakni system negara sekuler, seperti Pancasila[30]. Dengan pembacaan yang berbeda, maka hasilnya juga berbeda. Dasar yang dipakai sama saja yakni al Quran dan hadits Nabi, namun hasil istinbath hokum yang diperoleh berbeda. Ini juga barangkali sisi realitas  umat Islam, berbeda-beda dalam pemahaman. Tidak bisa meyatukan seluruh pemahaman dan penafsiran doktrin-doktrin kitab suci, karena ealitasnya umat berbeda-beda tingkatan ilmu, kemampuan menalar dan apresiasinya.[31]

D.    Pandangan JIL Terhadap Kajian Fiqih
Pemikiran JIL secara lebih memdetail sebenarnya tidak jauh berbeda dengan pendapat Fiqih yang tertuang dalam buku Fiqih Lintas Agama karangan Cak Nur yang sangat bergantung pada teologi pluralis. Sebab, teologi eksklusif yang ada selama ini dianggap tidak relevan lagi, karena mengedepankan penolakan terhadap kelompok atau komunitas lain. Teologi pluralis menyatakan bahwa berbagai agama (Yahudi, Kristen, Islam) ada kesamaannya atau titik temunya (Kalimah sawa’), yaitu Ketuhanan yang Maha Esa (tauhid) sesuai dengan QS. Ali Imran ayat 64. Teologi pluralis memandang bahwa semua agama, meskipun dengan jalan masing0masing yang berbeda, menuju satu tujuan yang sama, Yang absolute, yang terakhir, Yang riil, Agama yang benar – yang membawa keselamatan- menurut teologi ini adalah suatu agama yang berintikan sikap pasrah kepada Tuhan Yang Maha Esa dan perbuatan baik kepada sesame manusia. Ringkasnya semua agama adalah ‘kepasrahan pada Tuhan’ dan itulah yang dimaksud dengan al Islam. Atas dasar teologi pluralis itulah dibangun pendapat-pendapat Fiqih – yang disebut-sebut “peka keragaman ritual” dan “menerima agama lain” – dan diretas kerjasama lintas agama berupa dialog kehidupan, dialog kerja sosial, dialog teologis dan dialog spiritual.
Pendapat-pendapat dalam Fiqih Lintas Agama antara lain:
1.      Boleh mengucpkan salam kepada non-Muslim
Pada umumnya para ulama berpendapat bahwa hukum mengucapkan salam salam kepada orang non-Muslim adalah haram, terlarang. Larangan ini didasarkan pada hadis-hadis Nabi Muhammad saw. Nabi Muhammad saw, bersabda:”Jangan kamu memulai (mengucapkan) salam kepada orang-orang Yahudi dan Nasrani. Jika kamu menjumpai salah seorang dari mereka di jalan, desaklah dia ke pinggir.” Hadis ini diriwayatkan ole Muslim melalui Abu Hurairah. Hadis ini tidak hanya melarang memulai mengucapkan salam kepada orang-orang Yahudi dan Nasrani, tetapi juga menyuruh orang-orang Muslim untuk bersikap kasar terhadap mereka yaitu dengan mendesak siapapun diantara mereka ke pinggir jalan. Hadis ini menampikan Islam dengan wajah garang dan kasar.[32]
Namun, fatwa larangan mengucapkan salam kepada non-muslim ternyata tidak disetujui oleh semua ulama. Peristiwa yang terjadi ternyata dalam suatu seminar agama-agama di sebuah kota kecil di Jawa Tengah pad September 1995, ketika seorang ulama besar mengucapkan salam kepada para peserta seminar itu, yang semuanya adalah orang Kristen, membuktikan bahwa ada ulama yang membolehkan mengucapkan salam kepada orang-orang non-Muslim. Ulama itu mengucapkan salam kepada peserta yang semuanya adalah Kristen untuk kemaslahatan, yaitu persaudaraan, persahabatan dan kehangatan.
Penetapan hukum mengucapkan salam kepada orang-orang non-Muslim harus berdasar pada kemaslahatan dan hikmah. Di Indonesia banyak orang muslim dan orang non-Muslim bersahabat atau paling tidak, tidak bermusuhan. Dalam konteks seperti itu, bertolak dari kemaslahatan dan hikmah, mengucapkan salam kepada orang-orang non-Muslim adalah tidak dilarang alias boleh.[33]
2.  Boleh mengucapkan “Selamat Natal” kepada Nasrani (dan selamat Hari Raya kepada agama lainnya)
Banyak ulama berpendapat bahwa mengucpkan ‘Selamat Natal” dilarang oleh ajaran islam. Di antara alasan larangan ini adalah bahwa mengucapkan “Selamat Natal” berarti membenarkan ajaran Kristen. Alasan lain: bid’ah. Alasan lain menyerupai orang-orang kafir. Sebagaimana telah menjadi pengetahuan umum, bahwa MUI juga mengeluarkan fatwa yang mengharamkan umat Islam mengucapkan “Selamat Natal”, dengan alasan teologis di atas.[34]
Yang lebih utama adalah tujuan mengucapkan “Selamat Natal”. Bagi orang-orang Muslim, pada umumnya, tujuannya adalah untuk pergaulan, persaudaraan dan persahabatan.[35] Pergaulan, persaudaraan dan persahabatan adalah kemaslahatan. Dengan tujuan kemaslahatan dan tentu saja tanpa mengorbankan akidah, mengucapkan “Selamat Natal” tentu saja dibolehkan.
Diantara orang-orang Muslim di Indonesia, selain ada orang-orang yang mengucapkan “Selamat Natal” kepada saudara-saudara mereka yang Kristen, mungkin ada orang-orang yang mengucapkan “Selamat hari Raya Nyepi” kepada saudara-saudara mereka yang beragama Hindu.[36]
3.      Boleh menghadiri perayaan hari-hari besar agama-agama lain, misalnya Malam Natalan
Pada hari Kamis, 15 Mei 2003, diadakan perayaan Waisak Nasional yang dihadiri sejumlah pemimpin umat berbagai agama dan pejabat tinggi Negara. Diantara orang-orang Muslim yang menghadiri acara itu adalah Ketua MPR, Amien Rais, Ketua DPR Akbar Tanjung, cendekiawan Nurcholish Madjid dan mantan Presiden Abdurrahman Wahid. Dalam kesempatan itu, Cak Nur dan Gus Dur tampil sebagai pembicara. Cak Nur Mengingatkan bahwa semua agama pada dasarnya berasal dari satu sumber, yaitu Sang Satu. Beliau berkata:”semua agama dalam inti yang paling mendalam adalah sama. Dalam bulan yang suci ini karena kebersamaan ada perayaan Waisak, Maulid Nabi Muhammad saw dan kenaikan Isa al Masih, kita semua hrus menuju pada kedamaian.” Sementara itu Abdurrahman Wahid[37] mengatakan  bahwa kedatangan Abu Ibrahim Woila, salah seorang ulama terkemuka dari Aceh Barat, ke rumah Abdullah Faqih adalah pertanda kalahnya pendapat yang menginginkan Aceh berdiri sendiri. Karena itu, keutuhan dan kedamaian bangsa harus dijaga bersamaan.[38]
4.      Boleh melakukan doa bersama (antaragama)
Doa bukan hanya milik orang Islam, tetapi juga milik agama-agama lain. Dapat dikatakan bahwa doa adalah fenomena umum yang dapat ditemukan dalam semua agama. Doa adalah salah satu segi utama kehidupan keagamaan umat manusia. Friedrich Heiler (1892-1967), seorang fenomenolog agama terkemuka kelahiran Jerman, mengatakan bahwa ‘orang-orang beragama, para pengkaji agama, para teolog semua kepercayaan dan kecenderungan, sepakat dalam berpendapat bahwa doa adalah fenomena utama seluruh agama, jantung seluruh kesalehan  dan karena  alasan ini, tidak bisa diragukan sama sekali bahwa doa adalah jantung dan pusat seluruh agama.[39]
Menurut Nicolas Jonathan Woly, seorang sarjana teologi dari Protestan Indonesia, doa dapat diklasifikasikan ke dalam empat tipe, yaitu:
a.    Doa yang dilakukan ketika para pengikut dari suatu kelompok keagamaan untuk orang-orang yang menjadi anggota komunitas iman atau agama lain.
b.   Doa ketika seorang individu atau suatu kelompok keagamaan meminta doa untuknya atau untuk mereka sendiri dari orang-orang lain yang bukan dari iman yang sama atau agama yang sama.
c.  Doa yang dilakukan ketika pada suatu peristiwa yang dihadiri oleh para penganut agama-agama yang berbeda, satu orang pemimpin mereka semua dalam melakukan doa itu.
d.     Doa pada suatu peristiwa atau pertemuan yang dipimpin oleh para wakil dari masing-masing agama yang para anggotanya hadir dalam pertemuan itu dengan cara mereka masing-masing.[40]
Boleh atau larangan berdoa untuk orang-orang non-muslim dalam al Quran dan hadis-hadis tidak mungkin tanpa tujuan syariah: yakni kemaslahatan. Kemaslahatan selalu berkaitan dengan konteks kultural dan sosial. Larangan berdoa memintakan ampun untuk orang-orang munafik dan musyrik khususnya yang telah meninggal adalah untuk kemaslahatan. Berdoa untuk orang-orang munafik dan musyrik yang telah meninggal tidak berguna karena nasib mereka di akhirat tidak akan berubah dan mereka akan tetap masuk neraka. Berdoa untuk mereka adalah mubadzir. Maka muncullah larangan beroda untuk mereka.[41]
Belum ditemukan contoh meminta doa kepada non-muslim pada masa Nabi dan sahabat. Bagi orang-orang Muslim pluralis sejati, (yang percaya bahwa semua agama, meskipun dengan jalan masing-masing  yang berbeda, menuju satu tujuan yang sama, Yang Absolut, Yang Terakhir, Yang Riil) meminta doa kepada orang-orang non-muslim adalh mungkin dan karena itu, tidak terlarang. Tidak ada larangan meminta doa dari non-Muslim, tetapi lebih baik dilakukan agar terbebas dari ketidakpastian.[42]
Biasanya doa atau teks doa yang dibaca dalam doa bersama yang dapat diterima oleh semua peserta dari agama-agama yang berbeda. Dalam doa bersama jenis ini, seperti dikatakan di atas, pada umumnya lebih disukai menghindari teks-teks resmi peribadatan salah satu agama demi menghindari kebingungan. Maka dibuatlah atau disusunlah sebuah doa atau teks doa yang disetujui oleh semua peserta dari agama-agama yang berbeda.[43]
5.      Menolak konsep ahl adz-dzimmah, karena dianggap menomorduakan warga Negara non-Muslim, dengan perlakuan diskriminatif.
Menurut Dr. Abdul Karim Zaidan, ahl dzimmah adalah komunitas non muslim yang melakukan kesepakatan untuk hidup di bawah tanggungjawab dan jaminan kaum muslim. Mereka mendapat perlindungan dan keamanan. Mereka juga mendapat hak hidup dan tempat tinggal di tengah-tengah komunitas.
Pandangan para ulama fiqih terhadap ahl al-dzimmah telah mewarnai sikap kebanyakan umat Islam terhadap agama lain. Ahl al-dzimmah dianggap sebagai kelonpok minoritas dan karenanya harus tunduk kepada mayoritas. Dalam kitab Fiqih klasik, mereka tidak mendapatkan perhatian dan pelayanan sebagaimana umat Islam. Dan ini sejalan dengan karakter Fiqih klasik, yang mana secara eksplisit  ditulis untuk kepentingan umat Islam saja. sedangkanFiqih yang berkaitan dengan agama lain hamper tidak dijelaskan secara panjang lebar. Disinilah, amat terkesan bahwa Fiqih klasik telah menelantarkan dan mendiskriminasikan non-Muslim.[44]
Mazhab Hanafi misalnya terlihat memberikan ruang bagi ahl al-dzimmah. Menurut mazhab hanafi, mereka diperbolehkan melaksanakan ritual-ritual dan hukum yang sesuai dengan ajaran mereka, walaupun ajaran-ajaran tersebut diharamkan bagi umat Islam, seperti mendirikan gereja, membangun tempat penyembelihan babi dan lain-lain. Mereka mendapatkan kebebasan untuk mengekspresikan keberagaman mereka secara terbuka.[45]
Perlakuan diskriminatif terhadap ahl al-dzimmah sama sekali tidak dibenarkan apalagi dalam sebuah Negara yang menganut system demokrasi , yang mana setiap warga Negara mempuyai hak yang sama. Karenanya, fiqih klasik amat tidak memadai, apalagi jika mempertahankan sikap ketatnya terhadap ahl al-dzimmah. Fiqih klasik mesti direformasi dan merujuk kepada semangat awalnya sebagai komitmen untuk membangun toleransi, kesepahaman dan kesetaraan antara penganut agama. Pluralisme dan multikulturalisme merupakan fenomena terkini yang tidak bisa dihindarkan dan fiqih sejatinya dapat membawa pesan-pesan moralnya guna mengukuhkan semangat keragaman tersebut.[46]
6.      Menolak konsep jizyah karena ‘illat (alasan penetapan hukum) jizyah[47]  tidak ada lagi.
Jizyah dilatarbelakangi historis tertentu yaitu perang. Dan karenanya tidak bisa dibelakukan  dalam siatuasi normal.kewajiban membayar jizyah yang perlu ditinjau lagi, bahkan kita bis saja menasakh hokum jizyah. Da aedah fiqih yang membenarkan cara pandang seperti itu, bahwa sebah legalitas sebuah hokum tergantung sebab musababnya. Jikalau sebab musabab hukum tersebut sudah tidak ada lagi, maka hokum dengan sendirinya batal (al-hukum yaduru ma’a al-‘illah wujudan wa ‘adaman). Tidak adanya perang antara Muslim dan non-Muslim, dengan sendirinya telah menghlangkan hokum pembayaran jizyah.[48]
Jizyah merupakan konsep politik yang digunkan penguasa sebagai denda bagi mereka yang memerangi. Islam dalam konsep jizyah, sebagaimana disinyalir al Quran, sebebnarnya hanya melanjutkan tradisi-tradisi sebelumnya. Melihat realitas dan konteks yang berbeda antara zaman dulu dan sekarang, maka konsep jizyah, sebaiknya tidak diambil secara harfiyah, melainkan perlu penafsiran lebih maju. Diantaranya konsep tersebut bukan sebagai pemerasan dan pendiskriminasian terhadap mereka
Konsep Jizyah merupakan konsep yang kehadirannya mempunyai konteksnya sendiri, terutama tatkala umat Muslim dan umat no-Muslim berada dalam peperangan. Dan dalam kondii seperti ini, diperlukan sebuah kesepkatan yang jelas, sehingga tidak mengganggu stabilitas pemerintahan Islam. Konsep jizyah merupakan salah satu cara yang digunakan al Quran dan diperintahkan Tuhan bukan untuk memeras dan menomorduakan agama lain, melainkan sebagai cara untuk membangun kesepakatan yang tidak merugikan kedua belah pihak.[49]
7.      Wanita Muslimah boleh menikah dengan laki-laki non-Muslim
Dalam masalah pernikahan wanita muslim dengan laki-laki non-Muslim (baik Kristen, Yahudi atau agama-agama non-semitik lainnya) terdapat persoalan serius, karena tidak ada teks suci, baik al Quran, hadis atau kitab Fiqih sekalipun yang memperbolehkan pernikahan seperti itu. Tapi menarik juga untuk dicermati, karena tidak ada larangan yang sharih. Yang ada justru hadis yang tidak begitu jelas kedudukannya, Rasulullah saw, bersabda, kami menikahi wanita-wanita Ahli Kitab dan laki-laki ahli kitab tidak boleh menikahi wanita-wanita kami (Muslimah). Khalifah Umar bin Khattab dalam sebuah pesannya, seorang Muslim menikahi wanita nasrani,akan tetapi laki-laki nasrani tidak boleh menikahi wanita Muslimah.”
Setelah diteliti, hadis yang disebutkan di atas dikomentari oleh Shudqi Jamil al-Aththar  sebagai hadis yang tidak shahih. Hadis tersebut tergolong hadis mawquf  yaitu hadis yang sanadnya terputus hingga Jabir, sebagaimana dijelaskan al Imam Syafi’I dalam kitabnya, al-Um sedangkan ungkpan Umar ibn Khattab merupakan sebuah kekhawatiran bila wanita-wanita uslim dinikahi laki-lai non Muslim, maka mereka akan pindah agama. Dan umat Islam pada saat ini membutuhkan kuantitas dan sejumlah penganut yang setia.
Jadi, soal pernikhan laki-laki non-Mslim dengan wnita Muslim merupakan wilayah ijtihadi dan terikat dengan konteks tertentu, diantaranya konteks dakwah Islam pada saat itu. Yang mana jumlah umat Islam tidak sebebsar saat ini, sehingga pernikahan antar agama merupakan sesuatu yang terlarang.
Karena kedudukannya sebgai hukum yang lahir atau proses ijtihad, maka amat dimungkinkan bila dicetuskan pendapat baru, bahwa wanita Muslim boleh menikah dengan laki-laki non-Muslim, atau pernikahan beda agama secara luas amat diperbolehkan, apapun agama dan aliran kepercayaannya. Hal ini merujuk pada semangat yang dibawa al Quran sendiri. Pertama, bahwa pluralitas agama merupakan sunnatullah yang tidak bisa dihindarkan. Tuhan menyebut agama-agama samawi dan mereka membawa ajaran amal saleh sebagai orang yang akan bersama-Nya di surga nanti. Bahka Tuha secara eksplisit menyebutkan agar perbedaan jenis kelamin dan suku sebagai tanda agar satu dengan yang lainnya saling mengenal. Dan pernikahan antarbeda agama dapat dijadikan salah satu ruang, yang mana antara penganut agama dapat saling berkenalan secara lebih dekat.
Kedua, bahwa tujuan dari diberlangsungkannya pernikahan adalah untuk membangun tali kasih (al mawaddah) dan tali saying (al rahmah). Sedangkan pernikahan beda agama justru dapat dijadikan wahana untuk membangun toleransi dan kesepahaman antara masing-masing pemeluk agama. Bermula dari ikatan tali kasih dan tali saying, maka dirajutlah kerukunan dan kedamaian.[50]
Ketiga, semangat yang dibawa Islam adalah pembebasan, bukan belenggu. Dan tahapan-tahapan yang dilakukan oleh al Quran sejak larangan pernikahan dengan orang musyrik, lalu membuka jalan bagi pernikahan dengan Ahli Kitab nerupakan sebuah tahapan pembebasan secara evolutif. Dan pada saatnya, kita harus melihat agama lain bukan sebagai kelas kedua dan bukan pula ahl al-dzimmah dalam arti menekan mereka melainkan sebagai warga Negara.[51]
8.      Boleh pewarisan beda agama, karena sekarang hubungan Muslim dan non-Muslim dianggap sudah normal dan kondusif sehingg hadis yang melarang hal itu tidak bisa diamalkan.[52]
Menurut Hartono Ahmad Jaiz, diantara pendapat-pendapat kaum pendukung Islam liberal tentang Fiqih adalah sebagai  berikut:[53]
1.      Al Quran adalah teks dan harus dikaji dengan hermeneutika
Mengkaji al Quran sebagai teks dengan konteks bukanlah sesuatu cara yang terlalu baru. Apalagi istilah hermeneutika pun mempunyai banyak makna. Ada makna pada tataran filosofis, dan ada makna pada tataran sosiologis dan historis. Sesungguhnya, ulama tafsir klasik pun telah menggunakan kajian Asbabun Nuzul yang memberi konteks dari turunnya sesuatu ayat. Apa yang dikhawatirkan orang adalah bahwa penggunaan kajian hermeneutika terhadap al Quran, akan berarti penerapan kajian biblical[54] untuk al Quran dan memaingkan arti teks al Quran dengan dalih hermeneutika. Ada kekeliruan asumsi di sini, antara perbedaan status teks al Quran yang selamanya orisinal sebagai wahyu Tuhan, dan teks biblical yang ditulis oleh orang-orang yang hidup beberapa lama setelah Nabi Isa.
2.      Kitab-kitab tafsir klasik tu tidak diperlukan lagi
Jika ini adalah pendapat JIL, maka ini adalah pertanda kerancuan berpikir yang jelas, karena komunikasi dengan pemikiran para mufasir klasik itu sangat diperlukan justru antara lain untuk memahami konteksnya dan memahami konteks masyarakat mereka. Dan pemahaman konteks itu adalah anjuran dari hermeneutika. Jadi, kalau kitab-kitab klasik tidak diperlukan lagi, sebenarnya bertentangan dengan amjuran penggunaan hermeneutika itu sendiri.
3.      Poligami harus dilarang
Pelarangan atas poligami sesungguhnya bukan sesuatu yang baru. Di Turki dan Tunisia, hal itu sudah berjalan lama. Tetapi pelarangan itupun tidak berarti mengbah larangan Islam yang sudah diatur dal al Quran, bahwa poligami itu memang diperbolehkan dengan syarat-syarat tertentu. Pelarangan poligami di Turki dan Tunisia itu hanyalah bersifat menonaktifkan sesuatu aturan syariat pada suatu masa di suatu tempat tertentu. Hal itu juga pernah dilakukan oleh Umar bin Khattab ketika memberhentikan pemberlakuan hokum potong tangan atas pencuri dalam konteks tertentu pada waktu tertentu dan di tempat tertentu. Umar bin Khattabsama sekali tidak mengklaim bahwa aturan syariat tentang hukum potong tangan dalam al Quran itu telah ditiadakan. Masalahnya adalah, boleh jadi pada suatu ketika nanti di suatu masyrakat tertentu, karena peperangan misalnya, akan terjadi ketidakseimbangan yang besar antara penduduk laki-laki dan perempuan, dimana, jumlah penduduk perempuan jauh melebihi jumlah penduduk lakilaki. Dalam hal demikian, maka poligami pada saat itu justru mungkin harus dianjurkan untuk mewujudkan keadilan dalam masyarakat. Dengan demikian, teks al Quran tentang kebolehan poligami tidak perlu dihapuskan. Saran penghapusan seperti itu sesungguhnya menunjukkan kerancuan berpikir antara aturan sebagai hokum dan pelaksanaan aturan hokum sebagai kemaslahatan di lapangan.
4.      Mahar dalam perawinan boleh dibayar oleh suami atau istri
Dalam bahasa Inggris, kata dowry memang bisa berarti pemberian dari pihak calon suami kepada calon istri atau sebaliknya. Pemberian seperti itu tentu saja tidak bermasalah, baik dilakukan sebalum maupun sesudah perkawinan. Bahkan tukar menukar pemberian pun tentu baik-baik saja. Tetapi mahar dalm konteks akad nikah adalah pemberian calon suami kepada calon istri sebagai symbol bahwa mulai saat itu tanggungjawab nafkah istri berada pada pihak suami. Makna simbolik ini tentu tidak bisa menjadi pemberian istri kepada suami.
5.      Masa iddah juga harus dikenakan kepada laki-laki, baik cerai hidup ataupun cerai mati
Di sini terjadi kerancuan antara berpikir hokum dan berpikir psikologis. Masa iddah bagi perempuan memang mengandung aspek psikologis karena tentu tidak etislah seseorang perempuan yang baru sehari diceraikan suaminya atau kematian suaminya kemudian menikah lagi. Tetapi lebih penting dari itu, wanita harus menunggu pembuktian ada tidaknya kehamilan di dalam dirinya, meskipun alat-alat kedokteran baru mungkin mampu mendeteksi ketiadaan kehamilan pada hari pertama setelah perceraian atau kematian suami, tetapi kesempurnaan pemahaman itu baru akan terjadi setelah tiga kali putaran menstruasi atau 4 bulan dan 10 hari setelah kematian suami. Laki-lakipun secara psikologis memang perlu waktu menunggu setelah perceraian atau kematian istrinya sebalum melakukan perkawinan baru, tetapi waktu tunggu itu semata-mata masalah psikologi dan bukan masalah kejelasan keturunan kelak, seperti terjadi pada perempuan. Jadi memang ada perbedaan antara berpikir secara hokum dan berpikir secara psikologis.
6.      Pernikahan untuk jangka waktu tertentu boleh hukumnya
Pendapat ini terkesan terpengaruh oleh pendapat kaum Syiah yang selama ini memng memperbolehkan nikah mut’ah atau kawin untuk jangka waktu tertentu. Nikah mut’ah memang pernah dibolehkan pada zaman Nabi, tetapi kemudian dilarang kembali. Konteksnya pada waktu itu ialah bahwa pasukan yang berperang di negeri jauh tidak memungkinkan berkomunikasi dengan istrinya, karena tekonologi komunikasi belum memungkinkan, sekarang ketika tekonologi komunikasi begitu mudah, ada korespondensi, SMS, email, telepon suara, telepon bergambar, video, dan sebagainya, maka komunikasi dapat dilkukan kemanapun suami pergi. Karena itu,usul untuk membuka kembali pintu nikah mut’ah sebenarnya justru tidak berpikir kontekstual. Usul seperti itu lebih dikhawatirkan sebagai upaya melonggar-longgarkan aturan agma. Apalagi lembga nikah mut’ah itu memang telah jelas –jelas dilarang.
7.      Bagian warisan untuk anak laki-laki dan anak perempuan sama 1:1
Di Turki, Tunisia dan Somalia, pernah diberlakukan undang-undang yang mengatur warisan untuk anak laki-laki dan perempuan adalah sama. Di Indonesia pun, melalui Kompilasi Hukum Islam, hal itu dapat dilakukan atas kesepakatan bersama antara para ahli waris yang ada, setelah mereka mengetahui bagiannya masing-masing, tetapi sekali lagi teks nash tidak perlu diubah, karena pada suatu ketika mungkin akan terjadi suatu konteks yang justru menginginkan apa yang diatur oleh teks mash sekarang ini.
8.   Anak diluar nikah yang diketahui secara pasti ayah biologisnya tetap mendapatkan hak warisan dari ayahnya.
Lagi-lagi di sini terjadi kerancuan antara berpikir hukum dan berpikir non hokum. Nikah adalah suatu lembaga yang secara hokum memberikan legalitas. Pada sisi lain, hak warisan adalah salah satu bentuk hak hokum. Karena itu, berbicara hak warisan harus didasarkan kepada hak-hak hokum dan hak hokum hanya ada pada legalitas.
Di dalam buku berjudul Wajah-Wajah Liberal Islam di Indonesia, terdapat beberapa contoh tentang Fiqih yang berpandangan bahwa hukum potong tangan terhadap pencuri sebenarnya tidak dapat diterapkan pada ranah sosial yang belum merata tingkat perekonomian masyarakatnya, Artinya, sebelm melaksanakan hukuman itu, perlu adanya pelaksanaan syariat yang mendorong proses perubahan sosial menuju tatanan yang lebih adil, lebih sejahtera dimana orang miskin dijamin oleh Negara, kemudian setelah hal tersebut dilaksanakan, baru membicarakan tentang syariat yang memberikan hukuman.[55]



E.     Analisi
           Terkadang pemikiran orang yang netral diputarbalikkan menjadi orang yang pro terhadap JIL seperti yang terdapat di dalam wawancara pada buku wacana islam liberal di indonesia
Adanya embel-embel Liberal, cenderung menimbulkan kecurigaan terhadap JIL. menggambarkan komunitas Islam yang menekankan kebebasan pribadi terhadap pembebasan dari struktur sosial politik yang ada. karena Liberal adalah buah dari modernisme yng didengungkan oleh Barat. Beberapa orang berpendapat jika Ulil memberikan pemikirannya tanpa ada kata Liberal, mungkin adanya pro dan kontra bisa diminimalisir dan banyak pihak yang kemudian iktu dalam pemikiran Ulil. Namun, ketika hal itu tidak seperti yang dicita-citakan, maka banyak serangan terhadap pemikiran Ulil, terutama dari orang-orang fundamentalis-tradisional, hingga puncaknya ketika terjadi peristiwa bom buku yang dialamatkan pada Ulil beberapa waktu yang lalu.
Ada beberapa gerakan keagamaan di Indonesia yang memiiki corak pemikiran berbeda pandangannya terhadap Islam,  yaitu:
1.      Tradisionalis Cenderung literalis (fiqh), Mempertahankan tradisi lokal, tidak bisa membedakan mana ajaran dan non ajaran. Luwes dalam politik.
2.      Modernis. Penafsiran kontekstual, Menolak cara pandang agama yang rigid. Menentang sikap taklid, dakwah berorientasi tajdid & sosial.
3.      Fundamentalis. Militan, gaya bicara normatif, secara retorika seringkali lebih superior, anti slogan-slogan barat, anti tasawuf; Bersedia memakai penemuan dan teknologi modern untuk mencapai tujuan mereka
4.      Liberal. Kebebasan berkreasi tanpa batas, Anti Negara islam, menganggap tradisi masa lalu tidak relevan, agama dibatasi pada lingkup pribadi; mendewa-dewakan wordview Barat
Pemikiran produk Ulil tentang Islam Liberal belum tentu dilakukan oleh Ulil.[56] Bisa saja yang diinginkan oleh Ulil hanyalah sebatas wacana yang dijadikan sebuah tawaran kepada umat Islam di Indonesia untuk lebih mengedapankan akal dalam menafsirkan kembali al Quran dan Hadits sesuai dengan kondisi  masyarakat yang berubah dan perkembangan zaman.
Kaum Liberal secara selektif mendukung kaum sekuler, yaitu dengan  mendorong pengakuan fundamentalisme sebagai suatu musuh bersama; mendorong ide bahwa agama dan Negara juga dapat dipisahkan dalam Islam dan bahwa hal ini tidak membahayakan keimanan tapi malah akan memperkuatnya.
Dalam kajian Fiqih JIL, kiranya perlu memperhatikan sejarah awal mulanya ilmu Fiqih di masa lampau. Gencarnya ekspansi yang dilakukan oleh para sahabat ke beberapa daerah yang masing-masing mempunyai beragam latar belakang etnis dan sosio-kultural. Perbedaan letak geografis dengan segala dimensinya ini kemudian mempengaruhi corak Fikih mereka. Di Madinah, mayoritas penduduknya mengikuti Fikih Khulafa al-Rasidin, Abdullah bin Umar, dan ‘Aisyah. Di Makkah Fikih yang diikuti adalah Fikih ‘Abdullah bin ‘Abas. Penduduk Kufah berpegang pada fatwa-fatwa Abdullah bin Mas’ud. Penduduk Bashrah merujuk pada Abi Musa al-Asy`ari dan Anas bin Malik. Masyarakat Syam bertumpu pada fatwa Mu’adz bin Jabal, ‘Ubadah bin Shamid. Sementara di Mesir rujukannya adalah fatwa ‘Abdullah bin ‘Amru bin ‘Ash.
Fenomena di atas menandakan bahwa Islam dapat ditafsirkan ke dalam sejumlah inklinasi Fikih yang beragam karena pertimbangan letak geografis beserta konteks sosio-kulturalnya. Hal ini selaras dengan kaidah Fikih “tradisi adalah basis hukum” (al-‘Âdat Muhakkamah) atau kaidah “hukum Islam secara dinamis dapat berubah menyesuaikan perubahan waktu, kondisi, situasi, dan letak geografis” (al-Ahkâm Tataghayyar bi Taghayyur al-Azminah wa al-Ahwâl wa al-‘Amkinah). Kaidah-kaidah ini sejatinya hendak memberikan otoritas pada tradisi yang adiluhung (‘urf al-shâlih) guna merelevansikan mekanisme aplikasi hukum. Dari kaidah ini terlihat betapa para ulama telah memberikan apresiasi yang begitu tinggi terhadap tradisi dan –sebagai konsekuensi logis– relativisme Fikih menjadi sebuah keniscayaan yang wajar.
Dalam melihat JIL, maka pendekatan fenomenologi, bisa lebih dikedepankan. Kita membenarkan adanya keberadaan/eksistensi JIL, namun tidak sepenuhnya kita membenarkan pemikiran JIL, karena ada beberapa pemikiran yang perlu dikaji lebih mendalam lagi. Kita tidak bisa serta merta menyalahkan Ulil dengan JIL-nya secara membabi buta. Mengutip seperti apa yang dikatakan oleh Jalaluddin Rakhmat, “bahwasanya Tuhan menciptakan berbagai agama itu dimaksudkan untuk menguji kita semua; seberapa banyak kita memberikan kontribusi kebaikan kepada umat manusia. Kepada Tuhanlah semua agama itu kembali, maka kita tidak boleh mengambil alih Tuhan untuk menyelesaikan perbedaan agama dengan cara apapun, termasuk dengan fatwa”. Bila kepada agama yang berkeyakinan berbeda saja kita perlu memberikan penafsiran pemikiran, maka tidak ada salahnya bila juga memberikan penafsiran yang sama terhadap JIL.
Ada ajaran yang bersifat particular, bersifat pribadi dan ada yang bersifat universal. Agama yang bersifat universal itulah yang harus dipromosikan. Universal disini adalah nilai-nilai ajaran suatu agama seperti keadilan, toleransi, kemanusiaan, berbuat baik kepada sesama dan lain sebagainya, yang mana nilai-nilai itu ada dan diajarkan di setiap agama yang ada. Hal ini yang nantinya akan memperkaya dan ikut membantu proses pendewasaan serta proses pematangan umat beragama dalam melaksanakan kehidupan umat beragama yang harmonis.
Perdebatan dan eksistensi tentang adanya JIL masih akan berlanjut hingga waktu yang tidak bisa diprediksi. Mengutip kata Gus Dur,” Jangan banyak berdebat, biar sejarah yang akan membuktikan.”





























BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Islam liberal atau yang popular dengan sebutan JIL adalah sebuah gerakan yang bermula dari ajang kongkow-kongkow di jalan Utan kayu 69 H, Jakarta timur. Tempat ini sejak 1996 menjadi ajang pertemuan para seniman sastra, teater, musik, film dan seni rupa.
Tujuan dibentuknya JIL ini adalah; (1) memperkokoh landasan demokratisasi lewat penanaman nilai-nilai pluralisme, inklusivisme dan humanism, (2) membangun kehidupan keberagamaan yang berdasarkan pada penghormatan atas perbedaan dan (3) mencegah agar pandangan – pandangan keagamaan yang militant dan prokekerasan tidak menguasai wacana publik.
Kegiatan yang dilakukan JIL, yang dikoordinir oleh Ulil Abshar Abdalla, untuk menyebarluaskan gagasan dan pemikiran-pemirannya adalah dengan menggelar kelompok diskusi maya yang tergabung dalam Islamliberal@yahoo.com, melalui artikel-artikel, wawancara, diskusi interaktif dengan para contributor Islam Liberal, lewat kantor berita radio 68H dan puluhan radio jaringannya. Dalam konsep JIL, talkshow itu dinyatakan sebagai upaya mengundang sejumlah tokoh yang selama ini dikenal sebagai “pendekatan pulralisme dan inklusivisme” untuk berbicara tentang berbagai isu sosial keagamaan di tanah air.
Adanya pro kontra terhadap pemikiran Ulil dengan JIL-nya (dalam tulisan yang berjudul Menyegarkan Kembali Pemikiran Islam) dikarenakan penafsiran atas doktrin-doktrin kitab suci, baik al Quran maupun al Hadits yang dibaca sebagaimana adanya, bukan berdasarkan konteks turunnya. Satu pihak memahami ayat suci al Quran dan hadits berdasarkan konteksnya sementara di sisi lain apa adanya, sehingga yang muncul adalah arti lughawi, bukan maknawi atau masud di balik ayat atau hadits  tersebut. Oleh sebab itu JIL melalui metode pembacaan kritis atas al Quran dan hadits Nabi, melakukan pendekatan penafsiran secara sistematik tematik-kritis, dimana menempatkan ayat al Quran dan hadits Nabi tdak melulu sebagai doktrin bagi umat Islam, tetapi lebih bersifat prinsip-prinsip ajaran etika beragama.


[2] Council for Secular Humanism, www. secularhumanism.org/:diakses tanggal 19 Juni 2010
[3] http://khairaummah.com/Menggunakan Joomla/ diakse 19 Juni 2011
[4] William Montgomery Watt. Fundamentalisme Islam dan Modernitas. Terj. Taufik Adnan Amal, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2007, hal. 129
[5]http:// Islamlib.com/ Jaringan Islam Liberal/biografi Ulil, diakses tanggal 19 Juni 2011
[6] Beliau adalah Sekjen Komite Indonesia untuk Solidaritas Dunia Islam (KISDI) dan juga aktivis Hizbut Tahrir Indonesia serta pernah menjadi anggota Majelis Tabligh dan Dewan Khusus PP Muhammadiyah)
[7] Zuly Qodir. Islam Liberal: Paradigma Baru Wacana dan Aksi Islam Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007. hal. 189,  menyatakan bahwa secara sederhana Islam Liberal adalah Islam yang menawarkan keislaman yang relevan dengan kondisi real masyarakat Islam, bukan kontradiktif dengan realitas masyarakat tanah air, serta toleran Islam untuk semua umat beragama.
[8] Adian Husaini. Islam Liberal: Sejarah, Konsepsi, Penyimpangan dan Jawabannya. Jakarta: Gema Insani Press, 2002. Hal.2
[9] Islam telah menetapkan kebebasan kepada setiap manusia da menjadikannya sebagai suatu yang wajib baginya dan bukan hanya sekedar dispensasi, karena manusia dilahirkan dalam keadaan bebas dan harus hidup dalam keadaan bebas pula serta upaya menjaga kebebasannya. Islam juga memberikan kebebasan kepada manusia untuk bertindak, baik dalam perkataan maupun perbuatan, denga kehendak dan pilihannya, tanpa adanya tekanan ataupun paksaan. Lihat Wahbah Az-Zuhaili, Kebebasan dalam Islam, Jakarta: Al-Kautsar, 2005, hal 79. Yang perlu digarisbawahi menurut pandangan JIL ini adalah Islam telah menetapkan realtivitas kebebasan tersebut sesuai dengan konsekuensi kehidupan sosial dalam keharusan dan kejelasan yang sangat, karena pemberlakuan istilah akan memberi keputusan terhadap beberapa hak dan kebebasan orang lain, bahkan terhadap semua orang.
[10] Modernitas adalah pemberontakan radikal dalam melawan agama serta nilai-nilai spiritual yang terkandung di dalamnya. Pemberontakan ini telah menghasilkan gerakan renaissance di Eropa, khususnya filsafat politiknya Machiavelli yang jahat dan hanya menurutkan hawa nafsunya belaka. Karenanya tidak berlebih-lebihan untuk mengatakan bahwa modernisme  sekarang ini seolah-olah menjadi kepercayaan yang universal. Semua orang yang memeluk paham ini dipuji sebagai bangsa yang maju dan progresif sedang mereka yang menetang gerakan ini digelari sebagai bangsa yang terbelakang, kuno serta reaksioner. Karena alasan inilah banyak pemimpin Asia dan Afrika, setelah memperoleh kemerdekaan politiknya, sering dijumpai menjadi pengabdi modernism yang lebih fanatic daripada pengabdiannya kepada kaum kolonis yang pernah menjajah mereka sebelumnya. Lihat Islam dan Modernisme, terj. A. Jainuri & Syafiq A. Mughni, hal. 23
[11] Ajaran modernisme yang terpenting adalah penolakan terhadap Hari Akhir. Penolakan ini tidak bisa tidak menuju pada kesimpulan bahan kesenangan jasmani, kamakmuran materi, kesuksesan dunia serta kebahagiaan pribadi adalah satu-satunya tujuan hidup yang sangat berharga.hal ini jelas merupakanpengabaian moral dengan menolak pertanggugjawaban manusia atas tingkah lakunya terhadap Tuhan serta merusak keyakinan tentang pasti diperolehnya keadilan itu kelak kemudian hari. Semua ideology kaum modernis bercirikan penyembahan manusia dengan kedok ilmu pengetahuan. Kaum modernis yakin bahwa kemajuan di bidang ilmu pengetahuan akhirnya bisa memberikan kepada manusia semua kekuatan Tuhan. Bentuk pengagungan manusia tersebut kemudian menimbulkan Nasionalisme. Nasionalisme ditandai  dengan penyembahan kolektif dari seseorang yang memiliki kelompok tertentu dengan merasa benci terhadap orang asing  dan kaum minoritas. Hal ini terlihat seperti tindakan kaum Nazi Jerman terhadap kaum Yahudi, Israil terhadap bangsa Arab, orang-orang Turki di Siprus dan akhir-akhir ini seperti ditunjukkan bangsa kulit putih AfrikaSelatan terhadap bangsa kulit hitam.Islam dan Modernisme. hal. 40-41. Di dalam buku yang sama ajaran Modernisme juga menyebarluaskan penyimpangan sejarah Islam. Hal. 73-76
[12] Adian Husaini. Op.Cit, hal. 3
[13] Akhmad Taufik dalam buku Sejarah Pemikiran dan Tokoh Modernisme, Jakarta: PT. Rajagrafindo, 2005, hal. 159, menjelasnkan bahwa pemikiran Cak Nur untuk membawa umat Islam menjawab tantangan zaman, yaitu penggunaan akal sebagai upaya pembebasan manusia dari kungkungan cultural, pemikiran keagamaan yang membelenggu dan menghalangi manusia untuk berpikir. Penggunaan akal merupakan petunjuk agama yang harus dilaksanakan oleh umat manusia sebagaimana oleh al Quran. Ide sekulerisasi atau devaluasi radikal yang dianjurkan Cak Nur secara garis besar telah memisahkan masalah urusan duniawi dan ukhrawi. Diantaranya, (1) persoalan duniawi, cukup diurus oleh ilmu dan kemampuan akal rasional, (2) agama lebih mementingkan komnikasi psikologi0spiritual dan (3) pemisahan secara jelas wilayah yang sakral dan wilayah yang temporal. Lihat juga H.A.R. Gibb. Aliran-Aliran Moderen dalam Islam. Jakarta: Rajawali, 1990, hal. 83
[14] Bangunan epistemologis teologi inklutif Cak Nur diawali dengan tafsiran al-Islam sebagai sikap pasrah kehadirat tuhan. Kepasrahan itu kata Cak Nur, menjadi karaktaristik pokok semua agama yang benar. Inilah world view al-quran bahwa seua agama yang benar adalah al-islam yakni sikap berserah diri ke hadirat tuhan( Q.S. 29:46). Dalam konteks inilah sikap pasrah menjadi kualifikasi siknifikan pemikiran teologi inklisif ca knur. Bukan saja kualifikasi seorang yang beragama islam tetapi muslimin itu sendiri (secara generic) juga dapat menjadi kualifikasi bagi penganut agama lainya. Khususnya bagi penganut kitap suci, baik yahudi maupun Kristen. Maka konsekuensi secara teologis bahwa siapapun diantara kita baik sebagai orang islam, yahudi ,Kristen yang benar-benar beriman kepada tuhan dan hari kemudian , serta berbuat kebaikan , maka akan mendaptkan pahala disisi tuhan. Dengan kata lain , sesuai firman tuhan ini, terdapat jaminan teologis bagi umat beragama,apapun agamanya, untuk menerima pahala dari Tuhan.
[15] Adian Husaini. Op.Cit. Hal. 4
[16] Talkshow ini semula diikuti oleh 10 radio. Empat radio I JABodetabek yaitu Radio Attahiriyah FM (Rdio Islam), Radio Muara FM (Radio  Dangdut), Radio Star FM (Tangerang), Radio Ria FM (Depok) dan enam Radio di daerah yaitu Radio Smart (Menado), Radio DMS (Maluku), Radio Unisi (Yogyakarta), Radio PTPN (Solo), Radio Mara (Bandung), Radio Prima FM (Aceh) yang merupakan jaringan 68 H. Lama-lma jaringan Radio 68 Hterus bertambah.
[17] Adian Husaini. Op.Cit. Hal. 4
[18] Adian Husaini. Op.Cit. Hal. 5
[19] Dr.Denny JA, juga menulis,”Sudah saatnya komunitas Islam Liberal di Indonesia mengembangkan sebuah teologi tersendiri yang sah secara substansi dan metodologi yaitu teologi Islam Lliberal.ini adalah filsafat keagaman yang berstandar pada teks dan tradisi islam sendiri, yang member pembenaran pada sebuah kultur liberal . dalam politik,teologi itu menjadi teologi Negasa Seluler (TNS) yaitu sebuah filsafat keagamaan yang menggali teks dan tradisi islamyang paralel atau membenarkan perlunya sebuah Negara yang seluler sekalligus demokratis
[20] Sukidi, aktivitas PASP Muhammadiyah menulis di Koran Jawa Pos(11/1/2004),”Dan konsekuesnsi, ada banyak kebenaran dalam tradisi dan agama-agamanya. Nietzche menegaskan adanya kebenaran tunggal dan justru bersikap aafirmatif terhadap banyak kebenaran. Mahatma Gandhi pun seirama dengan mendeklarasikan bahwa semua agama entah Hinduisme, Budhhisme, Yahudi, Kristen, Islam, Zoroaster  maupun lainnya adalah benar. Dan konsekuensinya kebenaran ada dan ditemukan pada semua agama. Agama-agama itu diibaratkan dalam nalar pluralism Gandhi seperti pohon yang memiliki banyak cabang (many) tapi berasal dari satu akar (the one)  akar yang satu itulah yang menjadi asal dan orientasi agama-agama. Karena itu marilah kita memprolamasikan kembali bahwa pluralisme agama sudah menjadi hukum tuhan (sunnatullah) yang tidak mungkin berubah dank arena itu mustahil pula kita melawan dan menghindari sebagai muslim kita tidak punya jalan lain selain sikap positif dan optimis dalam menerima pluralism agama sebagai hukum Tuhan.”
[21] Rahman merupakan tokoh pembaruan pemikiran yang memiliki wawasan yang cemerlang dalam menyampaikan pemikiran-pemikirannya. Yang patut digarisbawahi dari pemikiran Rahman adalah al Quran harus ditangkap secara utuh dan mempertimbangkannya secara kritis latar belakang sosio cultural turunnya ayat, sehingga pemikiran-pemikiran yang merupakan konstribusi dalam menjawab tantangan zaman dapat dipertanggungjawabkan. Rahman juga beranggapan bahwa pemikiran modernisme mempunyai keemahan karena tidak menawarkan rumusan alternatif pemikiran modernisme dan lebih banyak mengadopsi gagasan Barat dalam perspektif pemikiran Islam. Sedangkan dalam Islam terutama pada al Quran telah memuat semua sektor  pengetahuan, baik pengetahuan kehidupan duniawi dan pengetahuan kehidupan ukhrawi. Justru Barat banyak mengadopsi dari al Quran dalam mengkaji ilmu pengetahuan. Lihat Fazlur Rachman, al Islam, Jakarta Bina Aksara. Hal. 350-357 dan William Montgomery Watt. Fundamentalisme Islam dan Modernitas. Terj. Taufik Adnan Amal, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2007, hal. 142-143
[22] Adian Husaini. Op.Cit. Hal. 6
[23] Hartono A. Jaiz, Jejak Tokoh Islam dalam Kristenisasi, (Jakarta: Darul Falah, 2004). h. 158-164
[24] Ketika penyusunan Kabinet Indonesia bersatu II, nama Dr. Nasarudin Umar di sebut-sebut akan menjadi kandidat kuat menteri agama RI. Namun, yang terpilih justru Suryadharma ali. Suryadharma adalah alumni IAIN Jakarta yang juga Ketua Umum PPP. Suryadharma pernah sesumbar akan membubarkan Ahmadiyah pasca lebaran. Tapi hingga sekarang tidak jelas kelanjutannya.
[25] Kasus yang teranyar adalah  tindakan tidak fair enam guru besar yang meluluskan disertasi Abd. Moqsith Ghazali. Padahal dalam disertasi ini banyak penafsiran al-Qur'an yang mengabaikan dan memisahkan antara keimanan kepada Allah Swt dengan keimanan terhadap nabi Muhammad Saw. Dalam disertasi aktivis Jaringan Islam Liberal (JIL) ini, disebutkan, ”Secara eksplisit Al-Quran menegaskan bahwa siapa saja – Yahudi, Nashrani, Sabi’in, dan lain-lain – yang menyatakan hanya beriman kepada Allah, percaya akan Hari Akhir, dan melakukan amal saleh, tak akan pernah disia-siakan oleh Allah. Mereka akan mendapatkan balasan yang setimpal atas keimanan dan segala jerih payahnya.” (Lihat disertasi Perspektif Al-Quran tentang Pluralitas Umat Beragama hal. 192). Jadi tanpa beriman kepada Rasulullah Muhammad, amal seorang Yahudi, Kristen dan Sabi'in sama kedudukannya dengan amal orang Muslim.
[26] Di makalah berjudul Gerakan Islam Liberal di Indonesia yang disampaikan oleh Atho Mudzhar pada seminar Internasional Tajdid Pemikiran Islam: Menyatukan Khazanah Pemikiran Umat Islam di Era Globalisasi dan Liberalisasi, tanggal 21 Oktober 2009, dijelaskan bahwasanya kegiatan-kegiatan JIL ditujukan untuk turut memberikan kontribusi dalam membedakan maraknya fundamentalime keagamaan di Indonesia sekaligus membuka pemahaman public terhadap pemahaman keagamaan yang pluralis dan demokratis. Secara khusus, kegiatan-kegiatan JIL ditujukan untuk:(1)Menciptakan intellectual discourses  tentang isu-isu keagamaan yang pluralis dan demokratis serta berspektif  gender;(2) Membentuk intellectual community yang bersifat organik dan responsis serta berkemauan keras untuk memperjuangkan nilai-nilai keagamaan yang suportif terhadap pemantapan konsolidasi demokrasi di Indonesia;dan (3) Menggulingkan intellectual networking yang secara aktif melibatkan jaringan kampus, lembaga swadaya masyarakat, media massa dan lain-lain untuk menolak fasisme atas nama agama.
[27] Adian Husaini. Op.Cit Hal. 8
[28] Ulil Abshar Abdalla, dkk. Islam Liberal dan Fundamental: Sebuah Pertarungan Wacana, Yogyakarta: elSAQ Press, 2005, hal. 165-168
[29] Kelonpok-kelopok Islam ini diantaranya adalah Hizbut Tahrir Indonesia, Ahlussunnah walJamaah, Majelis Mujahiddin, Front Pembela Islam, Ikhwanul Muslimin. HAMMAS, dan Majelis Mujahidin Indonesia.
[30] Ideology atau falsafah hidup yang didasarkan pada agama, seperti yang banyak kita jumpai di kalangan Islam di negeri kita, dahulupun mudah diterima oleh karena kebiasaan hidup kita dari semenjak sebelum lair sampai akhir ayat penuh diliputi oleh ajaran agama itu. Pancasila memang diterima oleh kalangan Islam, oleh karena mereka memberikan tafsiran yang tidak berlawanan dengan Islam. Banyak dari ajaran-ajaran Islam yang tidak tercakup oleh Pancasila, atau tidak dipersoalkan oleh Pancasila. Islam mengajarkan tauhid, dengan pengertian yang ketat; Pancasila, walau ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, sekurang-kurangnya membiarkan orang bertrinitas (pada agama Kristen), berdewa banyak (pada agama Hindu) atau tidak membicarakan Tuhan sama sekali (pada agama Budha). Islam mengajarkan iman kepada rasul-rasul dan dalam rangka ini ia mengakui antara lain nabi-nabi Ibrahim, Musa dan Isa serta Nabi Muhammad saw) sebagai rasul. Pancasila tidak perlu menyuruh meyakini hal ini, sejauh ia tidak berkenaan dengan keyakinan orang-orang Kristen (yang tidak mempercayai Muhammad sebagai Nabi), atau Hindu dan Budha (yang tidak mempunyai Nabi-Nabi tersebut). Islam mewajibkan umatnya shalat puasa Ramadhan, membayar zakat, mengerjakan haji, dan banyak lagi ketentuan-ketentuan lain, yang bagi Pancasila tidak perlu merupakan kewajiban atau ketentuan. Ini tidak berarti bahwa Islam bertentangan dengan Pancasila; pada umumnya kadang terdapat kesepakatan di negeri kita bahwa hal-hal ibadah seperti ini dibiarkan tegak, dan sering digalakkan. Sekurang-kurangnya kita dapat diperhatikan, bahwa kemudahan diberikan di negri kita untuk melaksanakan ibadah tersebut, sebagaimana kemudahan yang samadinikmati oleh para pengikut agama lain. Lihat Deliar Noer, Islam, Pancasila dan Asas Tunggal. Jakarta: Paradigma Press, Cet. II, 1984, hal. 113-114
[31] Zuly Qodir. Islam Liberal: Paradigma Baru Wacana dan Aksi Islam Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007. hal. 213-214
[32] Nurcholish Madjid, dkk. Fiqih Lintas Agama. Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 2004, hal. 68-69
[33] Ibid, hal. 78
[34] Ibid, hal. 80
[35]Setiap agama mengelu-elukan perilaku universal sebagai landasan kepercayaan: tujuh komandan dalam agama Yahudi, khotbah di atas gunung dalam agama Kristen, enam pengasingan dalam agama Budha, semua ini merupakan beberapa contoh dari perilaku baik. Ini dapat menjadi positif seperti “kamu tidak boleh membunuh”,”cintailah tetanggamu”. Harapan dalam agama Yahudi, kedermawanan dalam agama Kristen dan keimanan dalam agama Islamjuga merupakan bentuk dasar (prototype) perilaku yang baik. Perilau yang baim dapat dirumuskan dalam cara Kantian “berbuatlah seolah-oleh perilakumu dapat digunakan sebagai peraturan bagi semua manusia”. Perilaku universal didasarkan pada keinginan Tuhan. Keinginan Tuhan merupakan pengalaman manusiawi yang dirasakan oleh setiap orang. Ia merupakan ungkapan kesalehan yang dalam, keihlasan yang sangat tinggi dan kesucian yang absolut. Perilaku baik tanpa didasari niat baik, akan rapuh. Ia akan berhenti segera setelah memotivasinya berubah. Lihat Hasan Hanafi, Etika Global dan Solidaritas kemanusiaan Sebuah Pendekatan Islam, dalam buku yang berjudul Islam dan Humanisme:Aktualisasi Humanisme Islam di Tengah Krisis Humanisme Universal. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007, hal.9
[36] Nurcholish Madjid, dkk. Op.Cit, hal. 84-85
[37] Di acara Kick Andy sekitar tahun 2008, pada waktu itu yang menjadi bintang tamu adalah Gus Dur. Dalam acara tersebut ada beberapa pihak yang berkomentar tentang pemikiran Gus Dur. Diantaranya adalah putri beliau yang bernama Inayah. Inayah berkomentar,”sebenarnya secara tidak langsung Gus Dur ingin menciptakan perdamaian dan Rekonsiliasi. Salah satu contohnya adalah PKI, yang merupakan sebuah upaya bagaimana terjadi rekonsiliasi diantara sesama anak bangsa di Indonesia. Dan sebenarnya tidak ada kontroversi bila kita mau memahaminya”. Masih di acara yang sama, Dr. Handoyo (tokoh yang memerankan karakter Gus Pur dalam acara News Dot Com di Metro TV) juga angkat bicara. Beliau mengatakan,”Gus Dur gemar berdiskusi dengan orang-orang yang warnanya pelangi, menurut terminologi politik dari yang paling kiri hingga yang paling kanan, tidak pandang suku dan agama. Selain itu, bila ditilik lebih jauh mind setting Gus Dur selalu ada paham Keislaman, keindonesiaan, kemanusiaan yang diimplementasikan dalam kata demokrasi, Pluralisme dan kesamaan dalam serta tidak ada diskriminasi”
[38] Nurcholish Madjid, dkk. Op.Cit, hal. 88
[39] Ibid, hal. 93-94
[40] Ibid. hal. 95-97
[41] Ibid, hal. 102
[42] Ibid, hal.103
[43] Ibid, hal.105
[44] Ibid, hal. 146
[45] Ibid. Hal 147
[46] Ibid. Hal 150
[47] Pajak yang diberikan kepada non-muslim (ahli kitab) seagai imbalan atas pembebasan mereka dari kewajiban untuk mempertahankan negara atau imbalan atas jaminan keamanan dan perlindungan mereka serta berbagai hak sipil sebagai warga negara yang sejajar dengan kaum muslimin.
[48] Ibid. Hal 151-152
[49] Ibid. Hal 153
[50] Ibid. Hal 164
[51] Ibid. Hal 164-165
[52] Ibid.
[53] Makalah berjudul Gerakan Islam Liberal di Indonesia yang disampaikan oleh Atho Mudzhar pada seminar Internasional Tajdid Pemikiran Islam: Menyatukan Khazanah Pemikiran Umat Islam di Era Globalisasi dan Liberalisasi, tanggal 21 Oktober 2009
[54] Yang berhubungan dengan kitab injil
[55] Luthfie Assyaukanie. Wajah-Wajah Liberal Islam di Indonesia. Jakarta: Teater Utan Kayu, 2002, hal. 106
[56] Ada yang berpendapat bahwa Pemikiran Ulil tidak bebas seratus persen. Sebagai alumni pesatren, ia tetap apresiatif terhadap kelimuan pesantren. Melalui kolomnya On Being Muslim ,Ulil ternyata mendapatkan akar-akar liberalisme pemikiran keislamannya juga dari ilmu-ilmu tradisional oleh para ustadnya di pesantren. Ilmu-ilmu pesantren semacam balaghah dan  mantiq tampaknya turut melatih ulil perihal bagaimana menstrukturkan kata dan kalimat, mesistematiskan argument serta mengukuhkan kekuatan dalam bernalar. Hanya kalangan fundamentalis saja yang mencoba melakukan perlawan retorik. Majalah seperti Sabili, Hidayatullah, dan media-media di lingungan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesi mencoba untuk memberikan counter opini terhadap gagasan-gagasan yang diusung JIL. Setelah Ulil pergi, dinamika pemikiran dan gerakan Islam kontemporer kembali adem ayem.